Pagar Hati

Sekitar pukul 14.30, wajah-wajah lelah terlihat mulai memasuki ruangan kepala sekolah SMA Bina Siswa satu per satu. Mereka adalah pendidik sejati anak bangsa yang telah mengabdikan diri di sekolah ini selama kurang lebih lima tahun terakhir. Memang lima tahun bukanlah ukuran waktu yang lama untuk sebuah pengabdian, bukan karena apa-apa, akan tetapi memang karena SMA Bina Siswa memang baru berdiri lima tahun yang lalu. Sekolah ini berada di tempat yang jauh dari keramaian karena letaknya yang terpencil. SMA Bina Siswa berdiri di atas tanah wakaf dari seorang dermawan yang memimpikan perubahan bagi anak-anak kampungnya. Beberapa waktu sebelum meninggal, beliau menemukan beberapa pemuda yang datang secara ikhlas dan sabar ke kampungnya untuk berbagi ilmu kehidupan. Singkat cerita, para pemuda itu kini menjadi personil pendidik sejati, yang siap mengantarkan anak-anak kampung itu agar tidak hanya sekedar menjadi tukang kayu, pembuat batu-bata, apalagi cuma ngangon kambing. 


Pak Pri, bapak kepala sekolah, akan memimpin langsung rapat rutin ini. Para pendidik yang baru datang segera menduduki tempat duduk yang sudah tersedia. Tidak ada yang mewah di dalam ruang kepala sekolah itu. Meja, kursi, lemari, semuanya biasa saja, hasil dari sumbangan orang-orang yang masih peduli dengan pendidikan. Mungkin satu-satunya yang agak canggih adalah sebuah komputer tua yang mentereng di atas meja Pak Pri. “Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” Pak Pri membuka rapat dengan sangat santun. “Terima kasih atas kesediaan rekan-rekan sekalian sudah datang di rapat rutin bulanan kita ini. Pada kesempatan kali ini, saya ingin membahas beberapa laporan guru yang menyatakan bahwa banyak murid yang keluar masuk sekolah tanpa ijin.” Lanjutnya.


Keluar masuk sekolah tanpa ijin memang sedang tren di kalangan murid SMA Bina Siswa akhir-akhir ini. Mungkin karena bosan dengan pelajaran, ada masalah sama teman, ingin mencari sesuatu di luar sekolah, entahlah, belum diketahui secara pasti apa sebabnya. Tentunya hal ini menjadi sebuah masalah bagi pendidik-pendidik itu. Bukan karena absen yang nantinya akan bolong-bolong atau apalagi karena mereka merasa diremehkan oleh murid-murid itu, melainkan mereka khawatir hal ini akan merugikan anak-anak tadi. Mereka akan ketinggalan pelajaran, tidak tahu satu dua konsep yang diajarkan di hari itu, dan mereka akan jadi anak yang rugi.


“Pak, sepertinya kita perlu membangun pagar sekolah deh pak, agar anak-anak tidak bisa keluar masuk sekolah begitu saja!” Usul salah satu peserta rapat. Pak Didin, yang baru saja mengusulkan untuk membangun pagar sekolah melanjutkan usulannya dengan memaparkan sejumlah alasan. Alasan utamanya, sekolah tanpa pagar adalah layaknya manusia tanpa busana. Sebaik-baik manusia itu diciptakan, apabila dia tidak berbusana akan terlihat tidak wajar. Busana itulah yang kemudian akan melindungi si manusia tadi. Begitu juga sekolah, jika sekolah dipagari, sekolah akan terlihat lebih sempurna, cantik! Seru pak Didin di akhir usulnya. Pak Akhmad, salah seorang peserta rapat juga menambahkan, jika SMA Bina Siswa dipagari, maka kemungkinan kehilangan fasilitas-fasilitas sekolah akan sangat kecil. Pagar akan membuat orang berpikir dua kali jikalau ingin masuk mengambil tanpa ijin barang-barang milik sekolah. Berbeda dengan Pak Didin dan Pak Akhmad, Bu Niken mempunyai cerita yang berbeda, karena melihat sisi kebersihan sekolah. Sekolah yang terletak di tengah-tengah areal persawahan ini sering didatangi tamu tak diundang, yaitu kerbau-kerbau warga yang sengaja digembala secara bebas. Tak jarang setelah “tamu-tamu” tadi makan dedaunan dari pohon di lingkungan sekolah, mereka meninggalkan kotoran sekenanya. Sak kepenake udele, semaunya sendiri!


Usulan-usulan tadi memang rasa-rasanya benar. Guru-guru lain yang hadir membenarkan kalau pagar sekolah harus segera dibangun agar hal-hal yang membuat resah para pengajar tidak berlanjut. Sebenarnya, SMA Bina Siswa sudah mempunyai pagar, hanya saja pagar itu terbuat dari bambu. Alasan utamanya hanya satu, sekolah tidak mempunyai dana yang cukup sedangkan pohon bambu melimpah di sekitar sekolah. Sekarang guru-guru meminta untuk dibangun sebuah pagar yang mengelilingi sekolah? Sungguh pekerjaan rumah yang berat bagi sekolah yang tanah, gedung, dan fasilitasnya berasal dari sumbangan itu.


Di sela-sela rapat itu, saat guru-guru menyampaikan usulnya, Pak Pri teringat semasa dimana pertama kali sekolah ini dibangun. Dimulai ketika seorang dermawan memberikan tanah yang cukup luas agar nantinya dibangun sebuah sekolah, lalu ia disibukkan dengan urusan ini dan itu agar sekolah segera berdiri. Beliau ingat saat orang tua murid, yang sebagian besar tidak mampu menyekolahkan anaknya, yang ingin sekali melihat buah hatinya menjadi orang sukses, berduyun-duyun datang ke tempat dimana sekolah ini dibangun. Ada yang memberikan gorengan dan makan siang bagi tukang, ada yang menyumbang bambu dan kayu, ada yang menghibahkan batu-bata, ada juga yang bersedia memberikan tenaga menjadi tukang bangunannya, semua yang mereka berikan tidak lain adalah pengganti karena merasa tidak mampu untuk membayar sekolah anaknya dengan uang. Mulia sekali pengorbanan mereka, tinggi sekali pengharapan mereka, Pak Pri menangis dalam hati.


“Pak Pri, mohon ijin untuk berbagi sedikit cerita dari kawan saya, semoga bisa jadi pertimbangan” Bu Titik memecah keheningan ruangan. Beliau bercerita tentang sebuah sekolah STM dimana temannya bekerja di sana. Sebagaimana di SMA Bina Siswa, sekolah STM itu mengalami masalah yang sama yaitu muridnya suka keluar masuk sekolah secara bebas. Bedanya, sekolah STM tadi langsung merespon cepat masalah itu dengan pembangunan pagar. Mungkin sekolah itu memang mempunyai banyak dana untuk pembangunan. Sebulan dua bulan setelah pagar jadi, masalah-masalah tentang keluar masuknya murid hampir tidak ada. Akan tetapi, setelah itu masalah lain kemudian muncul. Ada beberapa anak yang tiba-tiba hilang dari kelas pada saat-saat tertentu padahal pagar sudah dibangun. Selidik punya selidik, ternyata beberapa murid yang menghilang tadi menumpuk beberapa pot besar di belakang sekolah untuk membantu mereka melompati pagar. Tempatnya yang tersembunyi mengecoh guru-guru sekolah pada waktu itu. Sepertinya kesulitan yang dialami siswa karena pagar malah menuntut murid-murid tadi berpikir "kreatif" bagaimana agar bisa keluar sekolah. Semua guru diam menyimak cerita dari Bu Titik.


“Baiklah, terima kasih atas usulan rekan-rekan sekalian. Akan saya pertimbangkan usulan yang sudah disampaikan dan saya tidak bisa memutuskan sekarang. Saya cukupkan rapat rutin kali ini dengan membaca hamdalah,” Setelah Pak Pri mengucap salam, para pendidik itu keluar dari ruangan kepala sekolah. Mereka bertanya-tanya keputusan apa yang kira-kira bakal diambil ketuanya itu. Apapun itu, mereka yakin kalau keputusan yang diambil adalah kebaikan bagi semua, seperti keputusan-keputusan penting lain yang sudah dibuat Pak Pri.


Minggu baru hadir dengan ditandai datangnya hari senin. Matahari sudah menampakkan dirinya secara penuh dan menghangatkan kulit para guru dan murid yang sedang berkumpul di lapangan upacara. Serangkaian prosesi upacara dilaksanakan dengan cukup hikmat hingga sampai pada acara amanat pembina upacara. “Anak-anakku sekalian yang saya banggakan dan nanti-nantikan prestasinya, beberapa hari yang lalu guru-guru telah melakukan rapat tentang isu keluar masuknya kalian di jam pelajaran. Beberapa guru mengusulkan agar dibangun pagar sekolah yang tinggi untuk membatasi “kebebasan” kalian dan menjaga keamanan sekolah. Namun, saya telah memutuskan setelah mempertimbangkan beberapa hal, dan keputusan saya adalah sekolah tidak akan dipagar. Mengapa? Semua ini memang disengaja. Di kampung kita ini biasanya yang dipagari hanyalah kandang ayam, kambing, atau kerbau yang orang-orang tua kalian pelihara di rumah. Sedangkan seperti yang sudah kalian tahu, di sini bukanlah kandang. Tempat ini adalah tempat dimana orang-orang yang merdeka berkumpul untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya. Maka dari itu, kita tak perlu dipagari agar kita terkungkung di dalamnya. Seandainya kalian mempunyai rasa semangat dan harapan yang besar, seperti yang dilakukan oleh orang-orang tua kalian, saya percaya kalian tidak akan keluar masuk sekolah sembarangan. Tetaplah di dalam kelas jika memang masih jam pelajaran untuk menimba ilmu, pengalaman, dan pertemanan. Jadi perlukah kita pagar? Pagar itu seharusnya kita bangun sendiri-sendiri di sini,” Pak Pri menunjuk kuat ke dada. “ Ada di dalam
hati.”



***

Cerita pendek ini diilhami dari sebuah buku yang penuh inspirasi yang berjudul Pagar Hati: Penguatan dan Implementasi Pendidikan Karakter dan Akhlak Mulia, karya Akhmad Supriyatna pendiri sekolah formal SMA Bina Putera di Kampung Sebe Karamat, Desa Rancasumur Kecamatan Kopo Kabupaten Serang, Banten. Alhamdulillah dengan model ATM (Amati, Tiru, Modifikasi), cerita yang awalnya hanya menjadi pengantar di buku Pagar Hati ini bisa menjadi sebuah cerpen. Terima kasih sudah membaca... :)

SHARE ON:

Hello guys, I'm Tien Tran, a freelance web designer and Wordpress nerd. Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam, eaque ipsa quae.

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar