Ada tidaknya diriku dalam hidupmu, aku menunggu.
Stasiun radio ini sudah banyak berubah. Setidaknya terlihat lebih rapi dan modern jika dibandingkan ketika aku pergi dari sini beberapa tahun silam. Aku berjalan menyusuri bilik-bilik yang ada di dalam kantor untuk menemui beberapa kawan lama yang masih bertahan. Ku sapa satu persatu dan ternyata mereka masih mengenaliku. Aku takjub melihat perubahan yang begitu cepat terjadi, manager bilang kalau mereka harus menyesuaikan dengan kemajuan yang ada sekarang ini. Peralatan-peralatan yang ada di ruang karyawan, produksi, serta siaran semuanya sudah canggih, karena menggunakan komputer keluaran terbaru. Di luar kantor sana kini juga tampak lebih hijau dan sejuk meskipun matahari sudah melebihi setengah perjalanannya. Sungguh, aku merindukan tempat ini.
Aku melihat sosok yang sebenarnya tak asing lagi bagiku. Beberapa bulan sebelum aku meninggalkan tempat ini, hampir setiap hari aku melihatnya datang ke stasiun radio ini, berdiri di depan gerbang kantor layaknya menunggu seseorang yang akan datang. Ningsih, seorang perempuan muda anak pengusaha kaya di daerah ini yang bernasib tidak baik. Dia masih saja setia menunggu pria yang dulu mencintainya. Pada saat aku masih bekerja di sini,memang pria itu suka sekali untuk datang ke sini untuk mengirimkan kartu atensi, yang isinya salam-salam cinta untuk nya. Akan tetapi, setahuku juga saat aku masih di sini dulu, pria itu tak pernah lagi datang untuk mengirimkan atensi untuknya setelah tragedi menyedihkan itu terjadi.
“Ning, nunggu siapa?” aku menyapanya, berharap mungkin kini dia mau menjawab. Dia hanya menoleh, menatapku sebentar, dan kembali menatap ke depan. Aku terhenyak melihat tatapan kosongnya. Tuhan, kasihan sekali perempuan ini, bantinku. Semangat dan keceriaan masa mudanya sudah tercerabut, sehingga tak berbekas lagi di pandangan matanya. Bersamaan dengan mulai turunya sang surya dari singgasana, aku putuskan untuk menemani perempuan ini dengan segala kebisuannya.
***
…
Baru ku sadari cintaku bertepuk sebelah tangan
Kau buat remuk, seluruh hatiku
(Baru kusadari cintaku bertepuk sebelah tangan)
(Kau buatremuk, seluruh hatiku)
“Well… itu tadi sebuah lagu dari Dewa 19. Pupus. Thank you buat Zaky, pendengar setia radio tercinta kita ini ya, yang sudah request lagu ini lewat atensi yang sudah dikirimin. Zaky katanya mau salam-salam nih buat Ningsih yang sedang dengerin, trus katanya juga terima kasih buat semuanya selama ini. Lagu pupus yang direquest, dipersembahkan ke Ningsih karna cukup untuk mewakili apa yang dia rasain sekarang ini. Ups… lagu pupus-nya Dewa 19 katanya mewakili perasaan? Adakah masalah di antara kalian berdua? Semoga baik-baik aja ya…” Suaraku perlahan muncul bersamaan dengan berakhirnya lagu. Sambil terus berbicara, tanganku cekatan mempersiapkan beberapa file lagu yang sudah dipesan oleh pendengar setia lainnya.
Sementara itu, beberapa puluh kilometer dari sana, seorang gadis muda yang baru saja merayakan kelulusannya hari ini menangis ketika mendengar lagu tadi di putar di ruang dengarnya. Ningsih tahu jika dia sudah melakukan sebuah kesalahan besar. Berbohong kepada dirinya sendiri dengan tidak mengakui bahwa dia juga mencintai Zaky, seorang lelaki yang telah tiga tahun memendam perasaan cinta kepadanya. Seandainya jika tadi siang dia lebih memilih untuk tidak lagi meninggikan egonya, mungkin lagu tadi tidak akan terasa lebih “spesial” dari biasanya. Namun setelah itu, kali ini dia mantap, dia akan meminta maaf dan mengatakan apa yang sebenarnya dia rasakan esok hari.
Sedangkan tidak begitu jauh dari rumah Ningsih, Zaky menekuri nasibnya yang malang karena cintanya tak terbalas. Rasa sakit itu kuat sekali menggerogoti kesenangan yang seharusnya dimiliki oleh anak muda yang baru lulus itu. Kini yang nampak diraut muka hanya kesedihan yang teramat sangat karena kekecewaan mendalam. Kepalanya dipenuhi dengan percakapan antara Ningsih dan temannya di lorong sekolah siang tadi, sebuah waktu yang sebenarnya sudah dipersiapkannya untuk mengutarakan rasa cinta yang sudah lama dipendam.
“Siapa? Zaky? Mana mungkin aku suka sama dia?Kalaupun aku suka sama dia, orang tua ku juga ga bakal ngasih ijin buat pacaranlagi… ha ha ha”
Zaky merasa batinnya dirajam oleh kata-kata Ningsih. Mungkin sekarang ini sedang berdarah-darah. Dan sebentar lagi akan bernanah karena lukanya yang semakin parah. Kini, dia merasa jijik dengan dirinya yang selama ini sudah diperdaya ilusi. Dan pada akhirnya, seperti tidak ada pilihan lain, dia memilih untuk pergi berbalik meninggalkan cerita masa lalunya.
***
Matahari sudah semakin turun, sehingga sengatan panasnya hanya terasa hangat di kulit. Anak-anak yang tinggal di belakang kantor mulai ramai kelihatan bermain di ujung jalan. Ada yang berlari, ada yang berloncat-loncatan serasa tak punya rasa takut akan jatuh dan sakit. Begitulah anak-anak yang memang berbeda dengan orang yang bilangan umurnya sudah banyak. Mungkin orang dewasa sudah lelah dengan jatuhnya selama masa kecil, dan hal itu membuatnya tidak mau lari lagi agar tidak jatuh. Atau, apa memang mungkin mereka sudah kehilangan nyali untuk berlari?
Perempuan yang tidak beruntung, yang saat ini ada di sampingku, masih setia dalam diamnya. Tak terpengaruh oleh jeritan dan teriakan anak-anak. Penyesalan memberinya kekuatan untuk tetap berdiri menunggu, meskipun yang ditunggu tak akan pernah datang lagi ke tempat ini. Dia masih saja berharap lelaki itu datang, mengirimkan salam dan request lagu yang dipersembahkan hanya untuknya seorang. Tapi sekali lagi, hal itu tak mungkin terjadi.
“Ning… bukannya kamu sudah tahu apa yang terjadi sama Zaky? Dia ga mungkin datang lagi ke tempat ini dan mengirimimu lagu. Sore itu, saat dia pulang dari sini setelah mengirimimu salam dan lagu, dia pergi untuk selama-lamanya dan ga akan balik lagi. Aku tahu kamu pasti sudah mengetahuinya, Ning. Cukup menyiksa dirimu seperti ini. Sudahlah… let him go!” kataku setengah berbisik kepadanya.
Dia masih saja setia dengan kebisuannya. Namun kali ini ada bulir air yang jatuh dari pelupuk matanya. Mungkin aku sudah mengingatkannya pada luka lama yang terus menetap dalam dada sampai saat sekarang. Ah, tapi tidak! Perempuan ini harus sadar dan bangun dari angan-angan kosong. Cinta memang menyediakan ruangan khusus bagi mereka yang dilanda asmara untuk berfikir tidak rasional. Bahkan ada yang bilang, kalau yang kamu lakukan biasa-biasa saja, pertanyakan kepada dirimu sendiri apakah kamu benar-benar cinta. Tapi seharusnya tidak seperti pemandangan yang tersaji di hadapanku sekarang ini.
Suara lagu-lagu religi mulai terdengar sayup-sayup dari speaker kecil yang dipasang di depan kantor, menandakan waktu sebentar lagi maghrib. Anak-anak yang dari tadi bermain juga satu per satu meninggalkan tempat bermainnya. Lampu-lampu mulai menerangi jalan yang sudah mulai menggelap. Saat itu pula Ningsih sebentar lagi akan kembali pulang. Disekanya air mata dengan ujung tangan. Menarik nafas panjang lalu melepasnya. Kemudian dia menatapku, satu detik, dua detik, tiga detik, dan kemudian tersenyum. Dia berbalik, sempurna memunggunggiku untuk melangkah pulang. Namun setelah beberapa langkah dia kembali berhenti dan berkata, “Terima kasih sudah menemaniku…”
0 comments:
Posting Komentar