Rindu adalah salah satu novel terbaik karangan Tere Liye. Setidaknya itu menurutku. Alhamdulillah, beberapa hari yang lalu aku sudah selesai membaca novel ini.
Adalah Ambo Uleng, Ahmad Karaeng (atau dipanggil
Gurutta), Daeng Andipati yang menjadi tokoh sentral di dalam cerita. Sedangkan tokoh-tokoh lain seperti Anna dan Elsa (putri Daeng Andipati), Istri Daeng Andipati,
Bonda Upe, Kapten Phillips, Ruben si
boatswain, Chef Lars, Mbah Kakung, Mbah Putri, dan
Sergeant Lucas menjadi pelengkap penting dalam keseluruhan cerita. Di dalam novel Rindu ini, tokoh-tokoh tadi terlibat dalam satu perjalanan religius yang panjang, yaitu perjalanan haji ke Mekkah. Tapi
kok ada nama-nama Belanda nya? Jawabannya adalah karena cerita yang disuguhkan berlatar setting pada zaman penjajahan Belanda, dan tokoh-tokoh yang tersebut tadi berangkat haji menggunakan Kapal Blitar Holland milik Belanda.
Baiklah, selain menyuguhkan petualangan perjalanan haji dengan kapal, novel Rindu ini pada intinya ingin mengungkap lima pertanyaan penting dalam hidup. Kelima pertanyaan ini dimiliki oleh masing-masing orang yang berbeda. Ada yang dikarenakan masa lalu yang kelam, hubungan yang tidak baik dengan orang tua, cinta, dan juga tentang keraguan diri. Berikut inilah petikan pertanyaan dan percakapan dari 5 pertanyaan itu. Ambillah pelajaran darinya!
Pertanyaan 1: Bonda Upe
Dia adalah salah satu penumpang Kapal Blitar Holland yang sedang menuju pelabuhan Jeddah. Pergi dengan satu tujuan yang sama seperti penumpang lain, yaitu menunaikan kewajiban haji. Namun, ada satu hal yang begitu mengganjal di hatinya apabila dia ingat semasa mudanya dulu.
Bonda Upe adalah seorang pelacur sewaktu masih beurumur belia. Pekerjaan ini terpaksa dilakukannya setelah dia dijadikan taruhan oleh ayahnya di dalam ajang perjudian. Menjadi pelacur dia jalani selama bertahun-tahun, sampai akhirnya dia dibebaskan oleh seorang laki-laki yang kemudian menjadi suaminya, Enlai. Pertanyaan yang dipendam
Bonda Upe adalah, Bagaimana kalau orang-orang tahu masa lalunya yang hanya seorang pelacur? dan Apakah Allah akan menerimanya di Tanah Suci? menerima haji mantan Pelacur?
Yang menjawab pertanyaan
Bonda Upe adalah
Gurutta. Dia adalah seorang ulama terkenal di kapal itu. Beginilah isi jawaban
Gurutta.
"Itu sungguh pertanyaan yang serius, Nak."
"Tapi sebelum aku menjawabnya, izinkan aku menyampaikan rasa simpati yang mendalam atas kehidupanmu yang berat dan menyesakkan. Tidak semua orang sanggup menjalaninya. Maka saat itu ditakdirkan kepada kita, insyaallah karena kita mampu memikulnya."
"Baiklah, aku akan membahasnya menjadi tiga bagian. Tidak terpisahkan satu sama lain. Kau pahami ketiga tiganya. Semoga itu membantu memberikan lampu kecil dalam kehidupanmu."
"Bagian yang pertama,
kita keliru sekali jika lari dari sebuah kenyataan hidup, Nak. Aku tahu, lima belas tahun menjadi pelacur adalah nista yang tak terbayangkan. Tapi sungguh, kalau kau lari dari kenyataan itu, kau hanya meyulitkan diri sendiri. Ketahuilah, semakin keras kau berusaha lari, maka semakin kuat cengkeramannya. Semakin kencang kau berteriak melawan, maka semakin kencang pula gemanya memantul, memantul, dan memantul lagi memenuhi kepala."
"Kita tidak bisa melakukan itu, Upe. Tidak bisa.
Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu, Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia."
"Bagian yang kedua, tentang penilaian orang lain, tentang cemas diketahui oleh orang lain siapa kau sebenarnya. Maka ketahuilah, Nak,
saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis sedang tertawa atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain."
"
Kita tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun bahwa kita itu baik. Buat apa? sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilaian orang lain. Karena toh, kalaupun orang lain menanggap kita demikian, pada akhirnya tetap kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang sebaik itu.
"Bagian ketiga, terakhir, apakah Allah akan menerima seorang pelacur di Tanah Suci? Jawabannya,
hanya Allah yang tahu. Kita tidak bisa menebak, menduga, memaksa, merajuk, dan sebagainya. Itu hak penuh Allah. Tapi ketahuilah, Nak, ada sebuah kisah dari Nabi kita. Mungkin itu akan membuatmu menjadi lebih mantap."
..........
"Apakah Allah akan menerima haji seorang pelacur? Hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa berharap dan takut. Senantiasa berharap atas ampunannya. Selalu takut atas azabnya. Belajarlah dari riwayat itu. Selalulah berbuat baik, Upe. Selalu. Maka semoga besok lusa, ada satu perbuatan baikmu yang menjadi sebab kau diampuni. Mengajar anak-anak mengaji misalnya, boleh jadi itu adalah sebabnya."
Pertannyan 1 dan 3 jawaban pertama sudah dijabarkan. Pertanyaan kedua datang dari Daeng Andipati, seseorang yang terpelajar dan pengusaha yang sangat sukses di Kota Makassar.
Pertanyaan 2: Daeng Andipati
Daeng Andipati mempunyai semua hal yang dapat membuat seseorang hidup bahagia; harta benda, nama baik, pendidikan, bahkan istri yang cantik dan anak-anak yang pintar. Namun, dibalik semua itu ada suatu hal yang selama belasan tahun mengganjal hatinya. Sesuatu itu adalah kebencian yang mendalam kepada seseorang yang seharusnya dia cintai. Rasa benci yang amat dalam sehingga susah untuk memaafkan. Kepada siapa dia benci? Dia benci kepada ayahnya sendiri.
"Tapi orang-orang hanya melihat kulit luarnya saja. Keluarga bahagia, terlihat kompak, selalu tersenyum. Mereka tidak tahu apa yang kami alami di rumah... Ayahku suka memukul. Jika marah, dia akan memukul kami. Dia juga suka memukul Ibu...." Daeng Andipati memulai pertanyaannya dengan sebuah cerita masa lalunya.
"Orang-orang hanya melihat luarnya saja. Gelimang harta. Kereta kuda bagus. Nama terhormat. Seolah semua itu memang penuh penghormatan... Ayahku culas dalam berdagang...."
"Kami hidup bagai dalam neraka di rumah. Kakak-kakakku, sekali mereka sudah bisa mandiri, memutuskan pergi."
"Usiaku lima belas tahun saat aku menyaksikan kejadian pilu itu. Ayahku memukuli ibuku karena alasan sepele. Ibu lupa membuatkan kopi untuknya. Ibu dipukul, ditendang hingga terduduk di sudut ruangan. Ayah pergi sambil berseru-seru marah. Aku memeluk Ibu. Kakak-kakak dan adikku takut. Mereka sembunyi di kamar. Aku masih bisa menatap wajah Ibu yang lebam, rambutnya yang kusut masai. Aku memeluknya, menangis."
"Sejak saat itu, ibu jatuh sakit. Dan enam bulan kemudian, dia meninggal. Aku menemaninya di tempat tidur saat dia pergi selama-lamanya. Enam bulan terakhir tidak sekalipun Ayah datang ke kamar Ibu dirawat...."
Pertanyaan yang dibawa Daeng Andipati adalah, bagaimana mungkin dia naik haji membawa kebencian di hatinya? Apakah tanah suci akan menerima sesosok anak yang benci kepada ayahnya sendiri? Bagaimana cara untuk memaafkan, melupakan semuanya?
Seperti halnya pertanyaan pertama, pertanyaan Daeng Andipati juga dijawab oleh
Gurutta.
Gurutta memperbaiki posisi duduknya.
"Selalu menyakitkan saat kita membenci sesuatu. Apalagi jika itu ternyata membenci orang yang seharusnya kita sayangi...."
"Lantas bagaimana mengatasinya setelah bertahun-tahun kebencian itu mengendap di seluruh tubuh kita? Bagaimana membersihkannya? Aku tidak tahu jawaban pastinya. Tapi izinkan orang tua ini menjelaskan tiga bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain...."
"Bagian yang pertama adalah, ketahuilah, Andi,
kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di muka bumi, misalnya apakah Allah langsung mengirimkan petir untuk menyambar orang itu? Nyatanya tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu diberikan negitu banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah tidak langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hak mutlak Allah. Karena keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita tidak selalu paham."
Kita tidak seharusnya membenci orang lain. Allah sudah menganugrahkan kemampuan kepada kita untuk mengatur hati. Hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengatur hati kita. Jadi, kenapa harus membenci?
"Bagian yang kedua adalah terkait dengan berdamai tadi. Ketahuilah, Nak, saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu jahat atau aniaya. Bukan!
Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati."
"Bagian ketiga, terakhir, bagian yang sangat penting karen kau punya perangi keras kepala, tidak mudah menyerah, dan selalu menyimpan sendirian semuanya. Maka ketahuilah, Andi, kesalahan itu ibarat halaman kosong. Tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, baik dengan penghapus biasa, dengan penghapus canggih, dengan apapun. Tapi tetap tersisa bekasnya. Tidak akan hilang. Agar semuanya benar-benar bersih, hanya satu jalan keluarnya, bukalah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong."
"
Buka lembaran baru, tutup lembaran yang pernah tercoret. Jangan diungkit-ungkit lagi. Jangan ada tapi, tapi, dan tapi....."
Kapal Blitar Holland terus melaju di tengah samudra. Dua pertanyaan sudah terselesaikan dengan 6 jawabannya.
Pertanyaan 3: Mbak Kakung
Semua orang di Kapal itu tahu betapa pasangan lansia - Mbah Kakung dan Mbah Putri - mempunyai cinta yang luar biasa. Mbah Kakung sangat menyayangi istrinya, dan begitu juga sebaliknya. Buah dari cinta mereka adalah perjalanan suci yang sedang mereka jalani sekarang ini. Mereka bertekad akan berkunjung ke
baitullah berdua, meski harus menabung sekian lama agar impian tersebut terwujud.
Takdir tak bisa dielakkan. Mbah Putri meninggal ditengah perjalanan mewujudkan impian naik haji sewaktu menjalankan shalat Subuh. Mbah Kakung merasa sangat kehilangan sekali. Wajah Mbah Kakung tidak lagi riang. Dia seperti kehilangan energi terbesar dalam hidupnya. "Selamat tinggal kekasihku." Mbah Kakung berkata di antara desau angin. Bersama dengan itu, pertanyaan ketiga mengalir dari mulut Mbah Kakung. Dan lagi-lagi akan dijawab oleh
Gurutta.
"Aku tahu, besok lusa hal ini pasti terjadi. Mungkin aku yang lebih dulu pergi, mungkin pula Mbah Putri. Kami tahu itu. Sebesar apapun cinta kami, maut akan memisahkannya. Dalam beberapa kesempatan, kami bahkan menyiapkan banyak rencana. Termasuk hendak dimakamkan bersebelahan."
".... Kenapa harus sekarang,
Gurutta? Kenapa harus ketika kami sudah sedikit lagi dari Tanah Suci. Kenapa harus di atas lautan ini. Tidak bisakan ditunda barang satu-dua bulan? Atau, jika tidak bisa selama itu, bisakah ditunda hingga kami tiba di Tanah Suci, sempat bergandengan tangan melihat Masjidil Haram. Kenapa harus sekarang?"
"Aku sungguh minta maaf, Kang Mas. Aku tidak tahu jawabannya kenapa harus sekarang."
"Tapi beginilah, akan kujelaskan beberapa perkara, semoga itu bisa membantu Kang Mas memikirkannya."
"Yang pertama,
lahir dan mati adalah takdir Allah. Kita tidak mampu mengetahuinya.... Kenapa Mbah Putri harus meninggal di atas kapal ini? Allah yang tahu alasannya, Kang Mas. Dan ketika kita tidak tahu, tidak mengerti alasannya, bukan berarti kita jadi membenci, tidak menyukai takdir tersebut..."
"Aku tidak mendustakan takdir ini,
Gurutta. Aku menerimanya. Aku ikhlas. Tapi kenapa harus sekarang?"
"..... Jika Kang Mas merasa berhak bertanya kenapa harus sekarang Mbah Putri meninggal, maka izinkan saya bertanya, kenapa harus tanggal 12 April 1878, Kang Mas harus berjumpa dengan seorang gadis cantik di pernikahan saudara. Kenapa pertemuan itu harus terjadi? Kenapa di tempat itu padahal ada berjuta tempat lain? Kenapa dengan Mbah Putri padahal ada berjuta pula gadis lain? .... Tapi kembali lagi ke soal takdir tadi, mulailah menerimanya dengan lapang hati, Kang Mas. Karena kita mau menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi...."
"Yang kedua,
biarkan waktu mengobati seluruh kesediahan, Kang Mas. Ketika kita tidak tahu mau melakukan apalagi, ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, habis sudah, maka saat itulah saatnya untuk membiarkan waktu menjadi obat terbaik....Biarkan waktu mengobatinya, maka semoga kita mulai lapang hati menerimanya. Sambil terus mengisi hari-hari dengan baik dan positif."
"Yang ketiga, terakhir,
mulailah memahami kejadian ini dari kacamata yang berbeda, agar lengkap. Apa itu? Sederhana penjelasannya. Mbah Putri meninggal di atas kapal. Mungkin kita melihatnya buruk. Tapi tidakkah kita mau melihat dari kacamata yang berbeda, Kang Mas, bahwa Mbah Putri meninggal di atas kapal yang menuju Tanah Suci, dan dia menghembuskan nafas terakhirnya saat sedang shalat Subuh. Lihatlah dari kacamata itu, Kang Mas. Dari genapnya amal Mbah Putri...."
Tiga pertanyaan hidup telah terjawab dengan sembilan jawaban. Masih ada dua pertanyaan lagi.
Pertanyaan 4: Ambo Uleng
Ambo Uleng adalah satu tokoh penting dalam cerita ini. Dia adalah anak kapal di Kapal Blitar Holland. Seorang pelaut tangguh dengan segudang pengalamannya, termasuk menjadi juru kemudi Kapal Phinisi. Namun, ternyata dia kalau oleh perasaannya sendiri. Dia memendam cinta yang begitu besar kepada seorang wanita, yaitu anak majikannya. Cinta mereka tidak mendapat restu dari orang tua wanita pujaan Ambo. Orang tua wanita itu dan salah satu keluarga terpandang di sana sudah mempunyai rencana perjodohan bahkan semenjak anak-anak mereka masih kecil. Tak terkira sakit hati yang Ambo tanggung. Akhirnya dia memutuskan pergi menjauh dari kehidupannya di Pare-Pare dan memutuskan untuk ikut kapal haji ini dengan satu harapan dapat melupakan bayangan gadis pujaannya tersebut. Pertanyaan keempat berawal dari kisah cinta ini. Orang yang akan menjawab adalah
Gurutta.
"Kami tidak pernah bicara walaupu sepatah pun. Aku juga tidak berani menatapnya. Kalau berpapasan, dia menunduk, dan aku juga menunduk. Tapi aku tahu, kami saling menyukai."
Pertanyaan Ambo adalah apakah cinta sejati itu? apakah besok lusa akan berjodoh dengan gadis itu? apakah masih ada kesempatan?
"Kau pemuda malang yang terpagut harapan, terjerat keinginan memiliki, dan terperangkap kehilangan seseorang yang kau sayangi, Nak. Tiga hal itu ada dalam dirimu sekarang...."
"Apakah cinta sejati itu? Maka jawabanya, dalam kasus kau ini,
cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya..... Aku tahu kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah dipahami para pencinta. Mereka tidak mau mencoba memahami penjelasannya, tidak bersedia.... Lepaskanlah Ambo. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu.... Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri, sibukkan dengan belajar.... Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apa pun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya, Ambo. Jikapun kau akhirnya tidak memiliki gadis itu, besok lusa kau akan memperoleh pengganti yang lebih baik."
Satu pertanyaan tentang cinta sejati dan tiga jawaban mengenai harapan, keinginan memiliki, dan takut kehilangan sudah terjawab. Empat pertanyaan dan dua belas jawaban. Masih tersisa satu lagi pertanyaan dan satu pula jawaban.
Pertanyaan 5: ....................
Kakek tua berusia tujuh puluh lima tahun itu berjalan sendirian di lorong-lorong kapal. Angin kencang membawa butir air hujan, memerciki wajahnya.
Ia menghela nafas perlahan. Sejenak menatap lautan yang gelap. Berbisik menguntai sajak sendu.
"
Lihatlah kemari wahai gelap malam. Lihatlah seorang yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaan sendiri."
"
Lihatlah kemari wahai lautan luas. Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi tidak pernah bisa bijak untuk dirinya sendiri."
Ya... pertanyaan kelima datang dari orang yang selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup penumpang kapal. Dia adalah
Gurutta. Dia merasa sebagai orang paling munafik di atas kapal itu.
Seperti pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, pertanyaan
Gurutta juga harus ada yang dapat menjawab.
Suatu malam saat para penumpang kapal makan malam, tiba-tiba segerombolan perompak Somalia menyerang.
Sergeant Lucas dan anak buahnya bertempur habis-habisan meskipun akhirnya mereka berhasil dilumpuhkan. Begitu juga dengan Kapten Phillips dan anak buah kapal yang lain. Perompak sudah menguasai ruang utama kapal dan merencanakan akan mengambil kapal haji ini. Tepat beberapa saat itu, Ambo Uleng dan Chef Lars sudah pergi melewati lorong-lorong kapal. Tujuan mereka satu, yaitu ruang mesin. Di dekat ruang mesin itu, ada sebuah ruang penjara.
Gurutta pada waktu itu dipenjara oleh
Sergeant Lucas di tempat itu karena kedapatan menulis buku tentang kemerdekaan. Ambo Uleng merencanakan sesuatu agar dapat mengalahkan perompak yang jumlah nya tidak sedikit. Dia akan menyerang para perompak sesaat setelah mematikan lampu ruang utama kapal.
"Tapi itu berisiko, Ambo."
Gurutta tiba-tiba angkat bicara, suaranya datar, "Kau bisa mencelakakan puluhan penumpang, bahkan ratusan, jika rencana itu gagal."
"Aku tahu itu,
Gurutta, tapi kita tidak akan gagal." Ambo Uleng berkata mantap.
Gurutta menggeleng, "Bagaimana jika saat gelap gulita peluru atau golok perompak itu mengenai anak-anak, Ambo? Bagaimana jika melukai orang tua? Perempuan? Bagaimana jika rencana ini gagal total? Kau tidak berhasil melumpuhkan mereka. Perompak yang marah bisa membunuh seluruh penumpang dan kelasi. Tidak ada yang tersisa."
Ambo Uleng menelan ludah. Menatap
Gurutta lamat-lamat.
Ambo Uleng bersikukuh bahwa rencananya akan berhasil, tapi
Gurutta masih saja tidak merestui rencananya untuk menyerang perompak di kegelapan. "Aku tidak ingin melihat ada yang terluka, Nak."
"
Gurutta, kita tidak akan pernah bisa meraih kebebasan kita tanpa peperangan! Tidak bisa. Kita harus melawan. Dengan air mata dan darah."
"Ilmu agamaku dangkal
Gurutta. Tapi malam ini, kita tidak bisa melawan kemungkaran dengan benci dalam hati atau lisan. Kita tidak bisa menasihati perompak itu dengan ucapan-ucapan lembut. Kita tidak bisa membebaskan Anna, Elsa,
Bonda Upe, Bapak Soerjaningrat, dan seluruh penumpang dengan benci di dalam hati. Malam ini kita harus menebaskan pedang. Percayalah
Gurutta, semua akan berjalan baik. .... Rencana ini sia-sia jika
Gurutta tidak bersedia memimpin."
Gurutta menyeka pipinya yang basah. Anak muda yang baru saja berbicara kepadanya telah menjawab pertanyaan hidupnya. Urusannya, pertanyaannya, tidak dapat dijawab dengan kalimat lisan, dengan tulisan. Ia harus menjawabnya dengan tindakan. Ia-pun akhirnya melakukan tugasnya sebagai ulama, yang memimpin di garis terdepan melawan kezaliman dan kemungkaran. Dengan kata lain, dengan posisinya sebagai ulama,
Gurutta telah menulis ratusan buku dalam hidupnya. Selama itu pula dia tidak yakin apakah dia sudah sebaik apa yang dia tulis, dia katakan kepada orang lain. Hal ini yang membuat dia merasa bahwa dialah orang yang paling munafik diantara penumpang-penumpang kapal tadi. Tapi pada akhirnya dia tahu, dia harus berjuang, melakukan sesuatu yang nyata, sebagai bukti bahwa dia juga melakukan apa yang dia tulis dan sampaikan kepada orang lain.
Lima pertanyaan, tiga belas jawaban sudah dijabarkan. Semoga dapat diambil pelajarannya.
Buat yang belum baca, bacalah cerita lengkapnya di novel Rindu karya Tere Liye. Masih banyak hal yang dapat diambil pelajaran.
Terima kasih Bang Tere atas karyanya yang sangat
apik ini. Semoga Allah menghitungnya sebagai amal kebaikan.