Kalaulah memang hidup ini adalah pilihan, masihkah aku bisa memilihmu? Kalau seandainya aku tak bisa lagi memilihmu, masih dapatkah disebut hidup itu soal pilihan?
Matahari mulai menampakkan diri dari balik bukit. Cahayanya yang menyapu dedaunan basah karna embun, terlihat begitu menyilaukan mata. Suasana pagi yang sangat indah diiringi dengan suara-suara alam di pagi
hari. Burung-burung masih bersemangat saling sahut kicau. Bajing-bajing terlihat di kejauhan bermain berkejaran dari satu pohon ke pohon yang lain. Orang-orang yang ada di atas bukit itupun nampak bahagia sekali menyambut hari ini. Bagaimana tidak, bunga desa yang mereka miliki akan melepas masa lajangnya hari ini. Dan demi sebuah persembahan pesta pernikahan yang agung mereka bersedia bekerja mempersiapkan semuanya dalam tiga hari terakhir. Hebat sekali!
Sang mempelai pria dan keluarga akan menyambangi rumah bunga desa beberapa jam lagi. Orang-orang mulai merapikan kursi-kursi yang mulai berbaris rapi. Harus lurus dan tidak boleh ada yang melenceng walau hanya satu centi. Tak kurang dari enam kursi empuk khusus ditata di depan, dipersembahkan bagi pengantin pria, Pak Modin, Pak Kyai, utusan dari KUA, wali dan saksi-saksi. Meja-meja juga tak lupa ditata sedemikian rupa agar posisinya pas serasi dengan kursi. Setelah semuanya tertata, orang-orang tadi sibuk mengelapnya sampai bersih, kalau bisa tak boleh ada debu yang menempel lagi. Mereka akan kedatangan tamu yang tidak biasa dari desa sebelah, pengantin laki-laki dan keluarga yang penuh dengan wibawa dan kehormatan.
Berbeda dengan suasana luar rumah yang cerah dan penuh kegembiraan, bunga desa yang sebentar lagi akan menikah malah merasakan hal yang sebaliknya. Hatinya mendung dan matanya yang menurunkan hujan. Semuanya terlalu cepat baginya dan seakan-akan dia masih belum bisa menerima kenyataan ini. Namun sayang, apa mau dikata, dia harus menjalani ini semua, demi kebaikan semua terutama orang tuanya. Ibunya sakit akhir-akhir ini, dan ayahnya memohon agar dia memenuhi keinginan ibunya yang ingin melihat putrinya bersanding dengan seorang lelaki di pelaminan. Tapi sebelum itu terjadi, dia ingin menangis sebentar mengingat-ingat kekasih hati yang baru saja diputuskannya sebulan lalu. Mengingat, mengenang kebahagian yang pernah mereka kecup bersama sebelum dia benar-benar menjadi seorang istri orang lain. Suasana sedih kini terasa menyeruak memenuhi bilik kecilnya. Sungguh, nasib baik tidak memihak kepada si bunga desa.
***
Putri duduk sendirian di tepi pantai, sebuah tempat dimana dia sering menungguku setiap kali pulang kampung. Dia rela menempuh perjalanan yang cukup jauh dari rumahnya untuk menemuiku, kekasih hatinya. Pantai ini, tempat ini, penuh dengan kenangan dan menjadi saksi ketulusan cinta kami berdua. Kesenangan dan kepahitan hidup selalu kami bagi berdua. Bahagiaku bahagianya. Sedihnya sedihku pula. Seperti apa yang dilakukannya setiap kali aku pulang, dia sudah menungguku.
Aku berjalan mendekatinya, duduk bersebelahan, dan tersenyum melihatnya. Sinar matahari yang sudah mulai menghangat menjilati kulit kami berdua. Pancaran cahayanya sesekali masih membuat silau mata, membuat Putri mengangkat telapak tangan ke wajah ayu nya agar pandangannya nyaman. Inilah ritual kami saat kami bersama; mengantar sang surya pulang ke peraduannya.
“Put, kamu lihat matahari itu? Indah sekali ya?”
“Iya mas… Indah sekali.”
“Kamu lebih indah dari surya itu, Put. Bagiku, kamulah keindahan dari segala keindahan ciptaan Tuhan. Aku ingin menemanimu di sepanjang perjalanan hidup. Akan setia menungguimu sampai kamu lelah dan akhirnya terbenam bersama waktu. Ijinkan aku menjadi penjagamu yang akan bersedia mengabdikan diri demi kebahagiaanmu.”
Putri tidak menjawab apa-apa kecuali hanya senyuman getir, seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Berbeda dengan pertemuan yang sebelumnya, dengan yang sebelum sebelumnya, dengan yang sebelum sebelum sebelumnya, yang mana dia selalu ceria bersamaku, kini wajah itu diliputi kesedihan setelah mendengarku. Apa salahku? Ku pandangi lekat-lekat wajah yang kini penuh misteri itu. Ada rahasia dibalik sana. Sebuah rahasia yang sepertinya ingin dikatakan tapi entah kekuatan apa yang membuatnya tertahan.
“Mas, apa kamu percaya aku mempunyai cinta yang luar biasa kepadamu?”
“Tentu aku percaya. Tak ada keraguan akan itu.”
“Mas, dulu aku percaya bahwa cinta kita adalah kekuatan terbesar yang tidak mungkin akan ada yang bisa memisahkan. Namun aku salah…”
“Apa maksudmu?”
“Beberapa waktu lalu aku memintamu untuk datang ke rumah dan bilang ke ayah ibu ku kalau kamulah orang yang akan menemaniku di sepanjang usiaku. Namun kamu bilang, saat itu, masih banyak yang ingin kamu raih demi masa depanmu dan mungkin masa depanku juga. Aku mempercayaimu mas, sungguh! Tapi aku tak bisa mengalahkan kekuatan yang lebih besar dari cinta kita itu. Langit berbicara lain, mas. Aku dijodohkan dengan laki-laki lain yang siap menikahiku dalam waktu dekat. Ibu sakit-sakitan. Ayah memintaku untuk membahagiakan Ibu melalui pernikahan ini.”
Tak ada petir yang menyambar-nyambar. Hujan pula tak turun dengan derasnya. Ini bukan kisah televisi yang penuh kepalsuan. Namun, kata-kata yang baru saja keluar dari mulut perempuan pujaan hatiku ini benar-benar membuatku serasa terbakar petir, membuatku mengejang ingin mati saja. Tubuhku diam, dingin, kaku, tak mampu berkata-kata. Kalaulah memang hidup ini harus memilih, masihkah aku bisa memilihmu? Kalau seandainya aku tak bisa memilihmu, masih dapatkah disebut hidup itu pilihan?
***
Aku tak percaya kini aku duduk dipernikahan kekasih hati ku sendiri. Tepat sebulan lalu, saat kepulanganku ke kampung, di pantai itu, aku harus belajar untuk menerima segala kuasa langit. Hari setelahnya tetap ku coba untuk melakukan yang terbaik untuk meraih janji masa depan yang lebih baik. Sesekali jika memang rindu itu sudah tak bisa ditahan, aku menghubungi kekasihku. Hufft masih bolehkah aku memanggilmu kekasih? Bukan jawaban yang memberi semangat yang ku dapat, tapi malah sebaliknya. Suatu waktu dia bilang di rumah sedang ramai masak-masak buat nyambut keluarga si calon yang mau datang nanti malam, lain waktu dia bilang lagi nulis-nulis nama di undangan, mas, dan yang paling susah diterima adalah saat dia mengutarakan harapannya agar aku datang ke pesta pernikahannya.
Kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan adalah pukulan keras bagi siapa saja, termasuk aku. Aku merasa asing jika harus tanpa kekasihku. Lagi-lagi aku masih menganggapnya sebagai kekasih, hufft. Dulu, di sela-sela waktu aku selalu merasa ada dia, meskipun kenyataanya dia ada jauh di sana. Sekarang semuanya sudah berubah. Entah kenapa sekarang ini jarak benar-benar menjaraki kita berdua. Tempat berjarak. Hati pun harus belajar untuk menerima agar berjarak juga. Sempurna membunuhku.
Akan tetapi, keadaan yang terus memaksaku untuk menerima kenyataan membuatku banyak belajar. Bersamaan dengan waktu, keadaan itu menuntunku agar tidak pernah berhenti dan tetap melaju. Benarlah nasehat yang
berbunyi Tuhan menciptakan segala sesuatu sesuai kadarnya, di tempat dan waktu yang tepat. Pada dasarnya yang datang dari-Nya hanyalah keindahan. Kebodohan dan kotornya akal pikiranku saja yang selama ini menganggap musibah sebagai hal yang menakutkan. Emas akan tetap emas meskipun ada dicomberan. Akan tetapi, hanya orang yang kurang akalnya sajalah yang membuang emas ke dalam air comberan yang kotor. Stop doing stupid things, man! Carry on!
Aku kini siap melihat seseorang yang menjadi pujaan hatiku bersanding dengan sesosok pria lain. Bagiku sekarang ini, dialah sebuah keindahan, ciptaan Tuhan yang tidak akan menjadi buruk. Seperti yang aku bilang
tadi, keindahan akan tetap menjadi keindahan, apapun keadaanya. Upacara pernikahan yang agung dimulai sudah. Janji-janji suci terucap dari mulut seseorang yang beruntung yang telah mendapatkan kekasihku. Setelah semuanya selesai, mulai ku dekati pasangan pengantin baru itu. Ku salami mempelai pria. Ku pandangi mempelai wanita yang kini menitikkan air mata. Berbahagialah! Akupun akan berbahagia untuk semua ini.
Selesai
---
Untukmu yang mendapatkan sesuatu, berbahagialah. Untukmu yang kehilangan sesuatu, berbahagialah.
0 comments:
Posting Komentar