aku-fendie.blogspot.com |
Tulisan ini ditulis sebagai sarana refleksi pribadi. Akhir-akhir ini aku menyadari bahwa ada banyak sekali perbedaan pendapat dari orang-orang di sekitarku ketika menanggapi sebuah kejadian.
Mari kita ambil contoh kasus yaitu sebuah korupsi yang menyeret presiden sebuah partai politik. Saat berita ini muncul, ada orang-orang di sekitarku menanggap bahwa sang pelaku harus dihukum selayaknya koruptor lain. Aku pun setuju kalau koruptor itu harus dihukum. Tapi, aku tidak begitu setuju dengan cara orang-orang ini bagaimana mereka menyebarkan berita di jejaring sosial. Entah mengapa, aku merasa kalau mereka puas sekali jika khalayak tahu bagaimana bobroknya sang tersangka. Di sisi lain, ada juga orang di sekitarku yang menganggap itu adalah tidak lebih dari sebuah permainan politik atau pengalihan isu. Bahkan, ada juga yang bilang penahanan itu adalah sebuah fitnah belaka meskipun tidak ada bukti yang mengarah ke sana. Mana yang benar? Mana yang harus aku anggap benar? aku lebih sering hanya jadi pengamat ketika mereka sudah bertukar argumen dan memilih untuk tidak menentukan posisi.
Mari kita ambil contoh kasus yaitu sebuah korupsi yang menyeret presiden sebuah partai politik. Saat berita ini muncul, ada orang-orang di sekitarku menanggap bahwa sang pelaku harus dihukum selayaknya koruptor lain. Aku pun setuju kalau koruptor itu harus dihukum. Tapi, aku tidak begitu setuju dengan cara orang-orang ini bagaimana mereka menyebarkan berita di jejaring sosial. Entah mengapa, aku merasa kalau mereka puas sekali jika khalayak tahu bagaimana bobroknya sang tersangka. Di sisi lain, ada juga orang di sekitarku yang menganggap itu adalah tidak lebih dari sebuah permainan politik atau pengalihan isu. Bahkan, ada juga yang bilang penahanan itu adalah sebuah fitnah belaka meskipun tidak ada bukti yang mengarah ke sana. Mana yang benar? Mana yang harus aku anggap benar? aku lebih sering hanya jadi pengamat ketika mereka sudah bertukar argumen dan memilih untuk tidak menentukan posisi.
Sebuah kasus terbaru yang akan ku jadikan contoh adalah kasus penyiraman air ke muka seorang sosiolog. Pelaku penyiraman adalah seorang juru bicara ormas Islam dan dilakukan di sebuah tayangan live di televisi. Hal ini juga menjadi bahan bincang yang cukup menarik di antara orang yang pro dan kontra. Bagi mereka yang menganggap kasus penyiraman itu benar, mereka berpendapat kalau sosiolog itu memang pantas mendapatkan perlakuan itu. Aku sendiri berpendapat, mungkin dibalik semua itu, mereka sudah saling ada dendam. Sehingga hal ini menyebabkan dengan mudah api emosi tersulut, bahkan saat syuting live. Mari kita coba lihat di sisi lain yang kontra! Berita yang terkesan negatif secara cepat langsung menyebar di jejaring sosial. Berita itu mewartakan kalau seorang 'preman' telah bertindak tidak sopan, yaitu menyiram air ke muka seseorang. Lagi-lagi, aku melihat di sana, orang-orang itu puas saat kejelekan orang lain terkuak.
Dari dua kasus di atas, aku melihat bahwa masing-masing diantara mereka sudah terikat dengan sebuah kepercayaan atau nilai yang dipegang erat. Kepercayaan atau nilai ini berupa golongan. Masing-masing mereka membela golongan mereka, seolah-olah kalau golongan sendiri adalah yang benar dan yang lain salah. Konsekuensi dari hal ini adalah seperti apa yang sudah aku jelaskan di atas. Jika ada sebuah golongan melakukan kesalahan, yang pro akan mati-matian mempertahankan image,yang kontra akan merasa senang.
Baik, terlepas dari itu semua, mari kita coba merefleksikan hal ini sejenak. Apa yang akan terjadi jika golongan-golongan itu tidak ada? Bagaimana jika yang ada hanyalah kebaikan dan keburukan? Termasuk yang manakah kita? Masihkah kita akan saling menjatuhkan satu sama lain? Bukankah menjatuhkan orang lain itu sebuah keburukan? Terlebih jika kita menyebarkan keburukan orang lain, bukankah itu malah melebihi keburukan itu sendiri?
Aku percaya mayoritas kita adalah orang yang percaya pada satu agama, meskipun entah apa agamanya. Akupun percaya kalau di dalam agama itu sendiri, manusia diajarkan pada kebaikan-kebaikan. Dan sama sekali agama tidak akan mengajarkan pada keburukan. Hal ini menurutku seharusnya bisa menjadi sebuah pijakan untuk kita ketika kita hendak melakukan sesuatu. Apabila ada sesuatu terjadi, mbok ya kita coba berfikir dua atau tiga kali apakah yang akan kita lakukan itu adalah kebaikan atau keburukan. Itu lah yang seharusnya kita pertimbangkan, bukan kepentingan golongan yang kita anut pahamnya. Sehingga, ketika kita ingin merespon terhadap sesuatu itu bisa tetap dalam koridor kebaikan.
Sekali lagi, jika yang ada di dunia ini hanya ada kebaikan dan keburukan, yang manakah yang akan kita lakukan?
0 comments:
Posting Komentar