Buah yang Jatuh Jauh dari Pohonya

binarnow.blogspot.com
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itu adalah sebuah peribahasa yang mungkin kalian selalu dengar selama ini. Artinya kurang lebih perilaku anak akan seperti apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Namun, kalau kalian diberi kesempatan untuk bertemu denganku, peribahasa itu tidak akan berlaku lagi. Ya... aku tidak setuju jika dibilang buah selalu jatuh tak jauh dari pohonnya.

Ayahku adalah seorang kiai pemimpin pondok pesantren di daerah Pandeglang, Banten. Pondok pesantrennya besar, santrinya pun banyak. Setiap hari lingkungan itu diwarnai dengan kegiatan-kegiatan khas pesantren seperti sholat berjamaah ataupun mengaji. Ayahku lah yang memimpin dan bertanggung jawab atas semua kegiatan yang rutin berjalan di sana.

Oya, perkenalkan nama-ku Bachri. Aku adalah buah yang jatuh jauh dari pohonnya. Jauh sekali. Ayahku seorang pemimpin pondok pesantren, tapi keseharianku ada di jalanan sebagai seorang pengamen. Ceritanya panjang, kawan. Jadi, mari kita mulai dari sini.



Sejak aku lahir sampai aku sekolah SMP, aku selalu diajarkan ilmu-ilmu agama oleh ayah atau guru lain yang ada di pesantren. Setidaknya setiap hari aku harus mengaji sebanyak 3 kali - di pagi hari, siang dan juga malam. Aku pun sudah mengenal ilmu akhlak, fiqh, nahwu atau pun shorof meskipun aku belumlah terlalu dewasa karena masih seusia SMP.

Menginjak usia 16 tahun atau sewaktu sekolah di SMA, aku mulai mengenal pergaulan di luar sana. Aku mulai menikmati indahnya berteman dengan banyak orang pada waktu. Seiring dengan itu, aku baru sadar bahwa di dalam pergaulan itu ada orang yang berkelakuan baik dan juga buruk. Salim contohnya, dia begitu dikenal sebagi orang yang murah senyum dan suka membantu teman lainnya. Tapi beda halnya dengan Maman yang dijuluki 'Si Preman' oleh teman-teman karena kebiasaanya meminta uang.

Kegiatan ekstrakurikuler di SMA waktu itu berbeda dengan apa yang sebelumnya aku punya di SMP. Jumlah kegiatannya atau organisasinya lebih banyak. Jika di SMP dulu hanya pramuka dan PMR saja yang ada, di SMA aku punya ekstrakurikuler Passus atau Pasukan Khusus, KIR dan Mading, Kerohanian Islam, dll. Namun, di saat aku mulai menikmati kegiatannku, muncullah pertentangan dari ayah.

Aku aktif di Pramuka waktu itu. Keaktifanku mau ga mau memaksa meminta jatah waktu ngajiku. Aku sering pulang sore, sehingga tak bisa ikut program ngaji di pesantren yang dimulai sekitar jam 4 sore. Awalnya ayah cuma menegur saja, tapi lama kelamaan marah juga melihat sikapku.
"Nggak ikut pramuka itu masih bisa masuk surga. Beda kalau kamu ga ngaji!" Bentak ayah waktu itu.

Kini aku sadar apa yang seharusnya aku lakukan waktu itu. Seharusnya aku ikuti saja apa yang diperintahkan kepadaku. Tapi, kenyataannya berbeda. Waktu itu aku malah balik malah ke ayahku dan memilih untuk kabur karena merasa orang tua tidak mengerti apa mauku. Aku pergi dari pesantren, yang juga rumahku, dan berencana menuju ke rumah Salim. Namun, di jalan aku malah bertemu dengan Si Preman Maman dan teman-temannya.

"Weits... ada anak kiai lewat..." Maman coba mengganggu ku, "Uang... mana uang," lanjutnya.

Aku yang waktu itu tidak membawa uang, berkata sejujurnya kepada Maman kalau tidak bisa memenuhi keinginannya. Namun, sayangnya dia tidak percaya.

"Heh, anak kiai itu ga usah pake bohong!" gertak Maman.
"Aku ga bawa uang, Man!" jawabku tak mau kalah.
"Koq nyolot? hah?" Balasnya lebih kasar lagi. Mulutnya bau minuman keras. Menyengat sekali baunya.

Maman memerintahkan anak buahnya untuk memegangi ke dua tangan dan kakiku. Aku di-cekok-in minuman haram. "Ya Allah... Abi nyuhunken dihapunten..." aku menangis sejadi-jadinya setelah mereka berhasil memasukkan barang haram itu ke mulutku. Tak lama kemudian aku pun sudah tidak sadar diri.

Semenjak kejadian itu, hubunganku sama ayahku tidak akur lagi. Meskipun aku sudah mencoba menjelaskan yang sebenarnya, ayah tetap saja tidak bisa menerimaku. Beliau beranggapan, pantes saja aku mabuk karena emang bertemannya sama orang-orang yang kaya gitu. Seandainya ayah tahu yang sebenarnya. Seandainya ayah mau memaafkanku.

Ayahku memang orang yang mudah tersulut emosinya dan juga sulit untuk memaafkan. Meskipun beliau juga jika sudah percaya sama satu orang, beliau akan susah percaya sama orang lain lagi. lagi-lagi kesalahan yang aku lakukan waktu itu, yang sudah merasa tidak dipercaya lagi, malah memilih untuk berteman dengan Maman dan teman-temannya. Minuman keras jadi teman setia, nyimeng sekali-kali ku coba.

Singkat cerita, kini sudah hampir lima tahun aku hidup di Jalanan. Kadang aku menikmati hidup di jalanan, tapi dari lubuk hati terdalamku aku ingin pulang. Apalagi kalau saat aku lagi genjreng gitar, ada murid atau bekas murid ayahku di pesantren. Malu rasanya hati ini. Mungkin mereka berpikiran kalau ayahkulah penyebab semua ini.

"Bachri... Bachri, kan?" seorang laki-laki datang mendekati-ku dan menjabat tanganku.
"Iya A', ada apa ya?" tanya ku balik.
"Wah, kamu lupa sama saya? ini Ocep... santrinya bapak kamu?" jawabnya.
"Oh... A' Ocep!"

Seperti yang ku bilang tadi kawan, kadang aku harus menahan malu setengah mati kalau harus ketemu orang yang kenal denganku atau ayahku sebelumnya. Untungnya A' Ocep ini berbeda dengan yang lain. Dia dua tahun lebih tua dari ku. Saat aku masih di pesantren, dia sering mengajariku ngaji.

"Kapan mau pulang, Bach? Bapakmu mungkin juga ingin kamu pulang..." A' Ocep memulai pembicaraan lagi.
"Ga tau lah A'... Aku malu A'!" ku jawab pertanyaannya dengan tegas.

Anak mana yang ga suka jika dia bisa hidup bahagia bareng keluarganya? menurutku tidak ada. Semuanya pasti senang. Tapi, aku sudah terlanjur jatuh jauh dari pohonku, Saat ayahku semakin hari semakin tinggi ilmunya, aku malah semakin merosot akhlaknya.

Ayah, maafkanlah anakmu ini. Sungguh ayah, sebenarnya aku ingin pulang. Aku ingin memperbaiki semuanya.

SHARE ON:

Hello guys, I'm Tien Tran, a freelance web designer and Wordpress nerd. Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam, eaque ipsa quae.

    Blogger Comment

0 comments:

Posting Komentar