Perempuan Penembus Batas
Perkenalkan namanya Angkie. Seorang pendiri Thisable Enterprise, perusahaan miliknya. Ada yang sedikit berbeda jika kamu berkunjung ke sana. Angkie mempekerjakan orang-orang diffable (different ability) di dalam sana. Bukan karena ia ingin mengeksploitasi mereka, tapi karena dia ingin memberdayakan teman-temannya itu. Teman-teman? Ya… Angkie adalah seorang difable juga, seorang tuna rungu.
Di usianya yang menginjak umur 25 tahun, dia tumbuh menjadi wanita dewasa. Sekilas, sikapnya yang lemah, lembut, dan santun akan mengaburkan kekurangannya dari matamu. Sampai akhirnya kamu bertatapan dan ngobrol secara langsung dengan dia, kamu baru akan tahu kalau dia memahami omonganmu dari gerakan bibirmu. Begitulah cara dia memahami dunia yang semakin penuh dengan kebisingan ini.
Berbicara tentang dunia yang semakin bising, sebenarnya Angkie sudah mendengarnya sejak 15 tahun yang lalu. Saat itu, dia baru berumur 10 tahun. Semacam obat anti biotik yang ia konsumsi disinyalir menjadi penyebab menghilangnya pendengarannya. Awalnya dia pun tidak menyadari kalau sebenarnya dia kehilangan pendengaran, sampai sebuah kejadian di kelas menyadarkannya.
“Angkie, kamu coba baca paragraf 2 ya!” Perintah Ibu guru yang mengajar.
Angkie yang tidak merasa dipanggil – karena tidak mendengar – mengabaikan guru kelasnya itu.
Beberapa saat setelah menunggu, Ibu guru menegur dia lagi, “Angkie, kamu tidak dengar apa yang Ibu bilang tadi?” Kali ini dengan suara yang agak tinggi.
Teman sebangku menyadarkannya bahwa barusan tadi Ibu guru memintanya untuk membaca bagian paragraph 2 sampai 2 kali.
Setelah menceritakan kejadian di kelas itu, kedua orang tua Angkie mencoba untuk berikhtiar untuk memeriksakan kondisi pendengarannya. Hasilnya? Angkie divonis mengalami masalah pendengaran yang parah. Mulai saat itulah, dia harus membiasakan diri dengan bunyi dengungan yang terus membising di telinganya.
***
Bunyi bel pulang di sebuah sekolah SMA di Jakarta menggema. Kringggg ... Semangat usia remaja membuat ruang kelas tersebut riuh seakan ingin menyaingi suara bel yang baru saja berhenti. Suara meja berderik karena keseret – atau memang sengaja diseret - sana-sini karena mereka berebut untuk pulang duluan. Selain itu, dorong-mendorong di depan pintu pun tidak terhindarkan. Angkie yang sudah berada di depan pintu menjadi korbannya. Untung hanya HPnya saja yang jatuh ke lantai. Praakkk!
“Ehh… Budek! Bawa hape juga lu? Emang bisa dengerin kalau ada yang nelpon?”
Bukan permintaan maaf yang Angkie terima. Ejekan menjadi gantinya. Bahkan, lama kelamaan oral bully seperti itu sudah seperti sarapan yang wajib disantap olehnya tiap hari.
Bukan saja dari teman sekolah datangnya ejekan itu. Ibu-ibu penggemar gossip di sekitar rumahnya juga tak mau kalah untuk menjadikan Angkie bahan gosip. “Jeng… Jeng… kasihan ya Bu Indah. Anaknya, si Angkie itu kalau udah gede nanti mau jadi apa coba? Lha wong ngedenger omongan orang lain aja susah!” kurang lebih seperti itulah petikan percakapan yang pernah dia dengar secara tidak sengaja.
Namun, Angkie adalah sosok wanita yang tak mau menambah kosa kata ‘putus asa’ di dalam kamus hidupnya. Seiring bertambahnya usia, diapun menyadari bahwa dia harus bisa membuktikan kepada orang-orang yang selama ini menganggap dia kurang. Apalagi, karena sudah banyak dia temui orang-orang yang hanya menyepelekan, akhirnya dia menganggap hal yang semacam itu sebagai hal yang biasa.
Suatu ketika saat Angkie berhasil menyelesaikan sekolah SMA, ibunda tercintanya memberikan sebuah wejangan. “Semua orang hanya diberi kesempatan hidup oleh Allah hanya sekali termasuk kamu,” Angkie mendengarkan dengan seksama melalui alat pendengarannya dan pastinya juga membaca bibir ibunya. “Jadi, Kamu harus bisa membuahkan prestasi yang bisa membuat orang lain ingat kamu saat kamu sudah tidak ada nanti. Yakinlah kamu pasti bisa meraih impian kamu. Janganlah ragu di setiap langkahmu, Anakku! Sudah terlalu banyak orang yang gagal hanya karena pembatas tipis yang disebut dengan keraguan. Janji kalau kamu akan terus berusaha?” Angkie hanya mengangguk, sebuah kode jawaban atas permintaan ibunya.
***
Beberapa tahun berselang, akhirnya Angkie berhasil lulus dari sebuah universitas. Dia sudah bergelar S1 sekarang ini. Layaknya kebanyakan orang normal lainnya, dia ingin menjadi wanita karir yang sukses. Bayangan mendapat kerja, mendapat gaji, hidup senang serta mampu membantu ayah ibu harus dia simpan dulu. Kenyataan berkata lain.
Banyak staf HRD yang kejam untuk orang-orang yang seperti dia, kaum diffable. Jangankan diterima, kesempatan untuk menunjukkan apakah dia bisa bekerja atau tidak saja tidak diberikan. Walhasil, bunga gugur sebelum berkembang.
"Jangan panggil aku Angkie kalau aku menyerah!" Semangat pantang menyerahnya seperti semangat pahlawan kala merebut kemerdekaan. Gagal di tempat yang satu, tempat lain menunggu, batinya. Hingga akhirnya usaha berbuah manis. Dia diterima di sebuah perusahaan dan menempati posisi yang tidak begitu bergengsi. Mungkin, dia memang harus mulai dari posisi yang rendah ini.
Detik berganti menit. Menitpun tak pernah lelah mengejar jam. Jam menjadi hari dan bulan berganti. Posisi Angkie di kantor tidak berubah, masih saja rendah. Dia ingin tahu, mengapa atasannya tidak memberikan posisi yang setidaknya sesuai dengan titel yang dia punya. Jawaban yang tidak dia inginkan pun keluar. Perusahaan itu menerimanya hanya karena kasihan dan ingin dianggap sebagai perusahaan yang taat pada undang-undang. Kamu tau kan kalau ada UU yang berbicara tentang orang diffable yang bisa bekerja di sebuah perusahaan? Angkie kecewa dan memutuskan resign.
Sempat dia memustuskan untuk mencari pekerjaan di tempat lain. Namun, dia mendapatkan lagi penolakan-penolakan itu. Atas dasar saran sang ayah, dia memustuskan untuk melanjutkan S2nya. “Di tengah-tengah persaingan yang ketat ini, kamu harus bisa berbeda, sayang. Kalau kamu melanjutkan S2, kamu bisa ambil spesifikasi kamu dimana. Semoga dengan seperti itu, kedepannya akan semakin mudah.”
***
Angkie berhasil menyelesaikan kuliah S2nya. Kali ini, setelah lulus, dia tidak ingin mencari kerja. Sebaliknya, dia ingin membantu orang-orang yang mempunyai kekurangan seperti dia. Dia mendirikan sebuah perusahaan yang mana di dalamnya dioperasikan oleh kaum difable. Semoga dengan adanya perusahaan ini, membuat kaum diffable merasa dihargai tenaga dan karyanya. Itulah sebenarnya mimpinya saat dia membangun perusahaan itu.
Tidak berhenti di sana, dia juga telah mengukir prestasi lain yang jarang bisa dilakukan oleh orang normal. Cara berpikirnya yang cerdas dan tidak kemauan untuk tidak dianggap remeh mendorongnya untuk menulis sebuah buku yang berjudul ‘Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas’. Dengan adanya buku ini, dia berkeinginan agar orang lain bahwa kaum diffable juga patut diperhitungkan karyanya.
“Banyak orang yang gagal menembus dinding tipis yang disebut dengan keraguan.” (Angkie Yudistia)
:. Cerita ditulis setelah menyimak pemaparan kisah hidup Angkie Yudistia oleh beliau sendiri di acara MY Night R.I.S.K.A (Muslim Youth Night Remaja Islam Masijid Agung Sunda Kelapa) pada tanggal 26 Januari 2013. Sebagian kecil isi cerita di atas hanya imajinasi penulis saja untuk keperluan penyesuaian cerita.
0 comments:
Posting Komentar