Hidupku Dibangun dari Mimpi

Tiga tahun yang lalu, setelah lulus dari SMA, aku memegang piring-piring kotor di sebuah restoran masakan Jepang. Bekerja untuk membuat bersih piring-piring tempat makan makhluk beruang. Terkadang makanan di atas piring itu ada yang tidak disentuh oleh mereka. Kita sikat saja, kata temanku. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau Gomai, Tempura, Beef Burger, sampai Sushi yang harganya paling mahal pernah aku dan teman-teman rasakan. Enak? Pasti.

Pujian dan ungkapan bangga pernah mengalir dari atasan melihat kerjaku yang cukup cekatan. Namun, kemarahan dari-nya juga tak jarang ku terima. Janganlah percaya pada ucapan manis atasanmu kawan, karena kau hanya jadi bahan penguat kekuasaannya. Tapi, jangan juga memasukkan kata-kata pedasnya ke hatimu kalau kamu masih ingin hidup dari uang mereka. Well, seperti itulah dunia kerja.

Di Bangau Resto, nama tempat kerjaku, aku mempunyai teman-teman baik. Hidup memang selalu berisikan hiasan hitam dan putih. Saat aku menerima umpatan, sumpah serapah dari atasan, teman-temanku tadi yang menenangkanku. Sungguh baik sekali mereka. Aku janji tak akan melupakan kebaikan mereka. Tak bisa dibayangkan jika tidak ada mereka. Mungkin aku akan meninggalkan tempat itu setelah puas mengobrak-abriknya karena tak tahan dengan omongan pedas atasan.

Kawan, pada suatu malam setelah pulang kerja aku pernah mengirimkan pesan singkat ke guru SMA-ku dulu. Kurang lebih isinya seperti ini; Bapak, suatu saat nanti aku akan menjadi seperti Bapak, guru Bahasa Inggris. Aku memang bercita-cita untuk menjadi guru Bahasa Inggris. Meskipun pada saat itu masa depan yang nampak hanya gelap, menjadi pencuci piring abadi. Membaca buku grammar, mengulang-ulangnya, mempraktikannya merupakan pekerjaan yang sering ku lakukan di sela-sela waktuku. Jika di dunia ini hanya ada satu orang yang semangat untuk mendapatkan cita-citanya, itulah diriku.

Bersambung...