Ijinkan aku untuk mendekat pada-Mu. Aku takut, wahai Tuhanku.
Orang-orang bilang tak lama lagi akan berlangsung sebuah pertandingan.
Entah, pertandingan apa itu aku tidak tahu. Tempat pertandingan sudah
disiapkan manusia, mirip sebuah ring. Perlengkapan diatur sedemikian
rupa oleh mereka untuk menyambut pertandingan yang spektakuler.
Sepertinya memang pertandingan yang besar karena dengar-dengar,
pemenangnya layak untuk mendapatkan apa yang ia inginkan di dunia ini.
“Mana ada pertandingan yang memberi hadiah semau pemenangnya,” pikirku.
Aku takut. Aku tidak mau ikut menonton pertandingan itu. Namun, kata orang-orang tak akan ada orang yang bisa melewatkan pertandingan ini. Kata mereka, karena yang bertanding kali ini adalah sang juara bertahan dari dunia timur dan penantangnya dari dunia barat. Tiba-tiba, “Aww! Lepasin…” aku diseret orang dari arah belakang. Aku terjatuh, tak berdaya, ia tetap menyeretku.
**
Aku menyadari kalau diriku sedang dalam rombongan untuk menyaksikan pertandingan itu. Rombongan diangkut dengan sebuah kereta yang mewah. Kereta menyediakan apa yang penumpang mau. Service yang diberikan tak tanggung-tanggung; disediakan pelayan-pelayan cantik untuk para penumpang.
Aku tidak mau berada di sini. Beranjak dari tempat duduk untuk mencari pintu keluar. Aku melihat gerbong-gerbong tersusun panjang, sepertinya tak berujung. Melangkah, tetap menjaga langkahku untuk tetap mengayun mencari pintu keluar.
Deg
Tak jauh dari tempat aku berdiri, ada sepasang laki-laki dan perempuan sedang ‘berciuman’.
“Woi … tempat umum!” teriakku menghentikan aktifitas mereka. Kini, ganti mereka yang memelototiku. Mungkin mereka terganggu. Sebentar kemudian, mereka malah tertawa.
“Hahaha … masih jaman? Hah?” tambah tambah laki-lakinya. Aku kembali takut.
Kemudian, aku lanjutkan melangkah untuk mencari pintu keluar. Tak pernah aku membayangkan sebelumnya kalau di tempat yang mewah ini ternyata ada orang yang bertindak tidak sopan. Aku mulai benci tempat mewah.
Gerbong demi gerbong sudah aku lewati, tapi tak ku temui ujungnya. Ku lihat di depanku ada seorang pelayan. “Silakan Ibu, Bapak, dinikmati pelayanan kami. Kalau ada yang diinginkan, silahkan untuk memanggil kami,” kata seorang pelayan kereta itu ketika mengantar pesanan penumpang. Setelah itu, pelayan itu balik dan melewatiku. Dia sempat tersenyum aneh, senyum penuh kemenangan.
Aku tak mampu menemukan jalan keluarnya. Kereta sampai di tempat pertandingan. Para penumpang kini berjejal mengantri untuk pertandingan spektakuler.
**
“Buk… Buk… Buk…” pukulan bertubi-tubi menghantam sang juara bertahan. Tampaknya, sang juara bertahan tak bisa berbuat banyak pada pertandingan kali ini. Penantang dari dunia barat semakin ganas saja menghantam tubuh musuhnya, “Buk … Buk… Gedebuk!” sang juara bertahan jatuh juga.
Sorak penonton mulai membahana memenuhi seisi gedung tempat pertandingan. Orang-orang yang dulu menjunjung sang juara bertahan tinggi-tinggi, sekarang mulai mencaci. Mereka berbelok haluan. Aku menahan kata-kataku dalam hati, “Bagaimana bisa orang-orang itu malah meninggalkan idola mereka saat dia jatuh tersungkur? Apa yang sebenarnya mereka inginkan?” nyanyian lagu-lagu kemenangan yang memekakkan telinga mulai mereka teriakkan.
Baiklah, melihat semua ini membuatku tidak tahan, cukup. Aku yang awalnya tidak ingin ke tempat ini, diseret untuk ikut mengikuti rombongan tidak jelas dan akhirnya ikut menyaksikan pertandingan ini, berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi takut. Aku ikut berteriak untuk mendukung sang juara bertahan. Aku ingin dia menang. Hati ini berkeyakinan kalau suaraku akan membangkitkan sang juara dari keterpurukan.
“Buk … Buk … Buk …!” Pukulan dari sang penantang masih terus menghujani tubuh sang juara bertahan.
Melihat kondisi itu, tak cukup rasanya kalau aku cuma berteriak. Aku, aku lari mengelilingi gedung pertandingan itu sambil bernyanyi, mendukung jagoanku. Ada orang memandangiku, lalu mengabaikanku. Ada juga yang melihatku, lalu menertawakanku. Persetan dengan mereka, aku coba menguatkan diri. Aku akan tetap mendukung jagoanku walaupun hanya sendiri, walau sampai mati.
Aku takut. Aku tidak mau ikut menonton pertandingan itu. Namun, kata orang-orang tak akan ada orang yang bisa melewatkan pertandingan ini. Kata mereka, karena yang bertanding kali ini adalah sang juara bertahan dari dunia timur dan penantangnya dari dunia barat. Tiba-tiba, “Aww! Lepasin…” aku diseret orang dari arah belakang. Aku terjatuh, tak berdaya, ia tetap menyeretku.
**
Aku menyadari kalau diriku sedang dalam rombongan untuk menyaksikan pertandingan itu. Rombongan diangkut dengan sebuah kereta yang mewah. Kereta menyediakan apa yang penumpang mau. Service yang diberikan tak tanggung-tanggung; disediakan pelayan-pelayan cantik untuk para penumpang.
Aku tidak mau berada di sini. Beranjak dari tempat duduk untuk mencari pintu keluar. Aku melihat gerbong-gerbong tersusun panjang, sepertinya tak berujung. Melangkah, tetap menjaga langkahku untuk tetap mengayun mencari pintu keluar.
Deg
Tak jauh dari tempat aku berdiri, ada sepasang laki-laki dan perempuan sedang ‘berciuman’.
“Woi … tempat umum!” teriakku menghentikan aktifitas mereka. Kini, ganti mereka yang memelototiku. Mungkin mereka terganggu. Sebentar kemudian, mereka malah tertawa.
“Hahaha … masih jaman? Hah?” tambah tambah laki-lakinya. Aku kembali takut.
Kemudian, aku lanjutkan melangkah untuk mencari pintu keluar. Tak pernah aku membayangkan sebelumnya kalau di tempat yang mewah ini ternyata ada orang yang bertindak tidak sopan. Aku mulai benci tempat mewah.
Gerbong demi gerbong sudah aku lewati, tapi tak ku temui ujungnya. Ku lihat di depanku ada seorang pelayan. “Silakan Ibu, Bapak, dinikmati pelayanan kami. Kalau ada yang diinginkan, silahkan untuk memanggil kami,” kata seorang pelayan kereta itu ketika mengantar pesanan penumpang. Setelah itu, pelayan itu balik dan melewatiku. Dia sempat tersenyum aneh, senyum penuh kemenangan.
Aku tak mampu menemukan jalan keluarnya. Kereta sampai di tempat pertandingan. Para penumpang kini berjejal mengantri untuk pertandingan spektakuler.
**
“Buk… Buk… Buk…” pukulan bertubi-tubi menghantam sang juara bertahan. Tampaknya, sang juara bertahan tak bisa berbuat banyak pada pertandingan kali ini. Penantang dari dunia barat semakin ganas saja menghantam tubuh musuhnya, “Buk … Buk… Gedebuk!” sang juara bertahan jatuh juga.
Sorak penonton mulai membahana memenuhi seisi gedung tempat pertandingan. Orang-orang yang dulu menjunjung sang juara bertahan tinggi-tinggi, sekarang mulai mencaci. Mereka berbelok haluan. Aku menahan kata-kataku dalam hati, “Bagaimana bisa orang-orang itu malah meninggalkan idola mereka saat dia jatuh tersungkur? Apa yang sebenarnya mereka inginkan?” nyanyian lagu-lagu kemenangan yang memekakkan telinga mulai mereka teriakkan.
Baiklah, melihat semua ini membuatku tidak tahan, cukup. Aku yang awalnya tidak ingin ke tempat ini, diseret untuk ikut mengikuti rombongan tidak jelas dan akhirnya ikut menyaksikan pertandingan ini, berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi takut. Aku ikut berteriak untuk mendukung sang juara bertahan. Aku ingin dia menang. Hati ini berkeyakinan kalau suaraku akan membangkitkan sang juara dari keterpurukan.
“Buk … Buk … Buk …!” Pukulan dari sang penantang masih terus menghujani tubuh sang juara bertahan.
Melihat kondisi itu, tak cukup rasanya kalau aku cuma berteriak. Aku, aku lari mengelilingi gedung pertandingan itu sambil bernyanyi, mendukung jagoanku. Ada orang memandangiku, lalu mengabaikanku. Ada juga yang melihatku, lalu menertawakanku. Persetan dengan mereka, aku coba menguatkan diri. Aku akan tetap mendukung jagoanku walaupun hanya sendiri, walau sampai mati.
0 comments:
Posting Komentar