Ku Temukan Cinta Di Jalur Pendakian Puncak Pangrango
Dalam tiga bulan terakhir kehidupanku sudah berubah total. Aku sekarang ini menjadi seorang guru di sebuah sekolah swasta di daerah Serpong. Selama waktu tersebut, aku memilih untuk bolak-balik Jakarta Serpong setiap harinya dengan menggunakan Commuter Line dan kendaraan umum. Tiga bulan yang memberikan banyak pelajaran, terutama tentang bagaimana kehidupan orang-orang di kota besar seperti Jakarta.
06.00 WIB - Stasiun Cawang
Matahari terbit di balik barisan gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Bulat sempurna berwarna oranye. Sinarnya belum sepenuhnya menghangatkan badan. Namun, sepagi itu, orang-orang sudah banyak yang duduk di bangku-bangku stasiun menjemput janji tuhan yang mereka minta semalam. Aku menjadi satu dari orang-orang itu, duduk di salah satu bangku besi panjang khas stasiun. Di saat seperti ini, aku mempunyai sebuah kebiasan yang mungkin juga lazim dilakukan banyak orang lain yaitu people watching - memperhatikan orang-orang sekitar tanpa sepengetahuan mereka.
Ku lihat di seberang rel sana ada seorang gadis yang pastinya sedang menunggu kereta. Dilihat dari dandanannya dia seperti karyawan di sebuah perusahaan. Dia duduk satu bangku dengan bapak-bapak paruh baya. Tampaknya mereka tidak mengenal satu sama lain. Gadis itu memainkan HP pintarnya, sedangkan bapak-bapak tadi menatap kosong ke depan. Aku sama-sama tak tahu apa yang mereka pikirkan.
Sesaat kemudian ada seorang ibu paruh baya, sepertinya pegawai negeri, duduk di sebelah kiriku. Beliau terlihat sedang mengatur nafasnya. Kemudian mencari-cari sesuatu di dalam tas yang dibawanya. Ternyata dia mencari-cari tisu untuk mengelap keringat. Sepertinya beliau tadi berjalan atau mungkin lari-larian karena takut ketinggalan kereta. "Keretanya telat, Bu." Aku coba membuka percakapan denganya. "Oh...," jawabnya singkat, padat, dan sangat jelas. Sepertinya dia tidak tertarik untuk berbicara.
Sementara di sebelah kanan ku ada tiga anak sekolah yang sedang menunggu kereta. Kalau dilihat dari seragamnya sih sepertinya mereka satu sekolah. Tidak berbeda dengan gadis yang ada di seberang sana, anak-anak sekolahan tadi juga sedang memainkan HP. Sesekali melongokkan kepalanya ke arah selatan, arah datangnya kereta, untuk mengecek apakah keretanya sudah datang atau belum. Kembali mereka asyik dengan benda canggih yang ada di tangan, sambil sesekali meng-huh- kesal karena kereta telat datang.
Pagi di Jakarta sungguh sangat khas. Sepagi itu kota sudah bising dengan suara kendaraan. Dari Stasiun Cawang ini aku bisa mendengar bis-bis kota meng-klakson sana meng-klakson sini untuk memanggil penumpang datang. "Sibuk sekali kota ini," aku membatin dalam hati. "Orang-orang sini juga semuanya merasa sibuk. Gadis itu sibuk dengan gadgetnya, bapak-bapak itu sibuk dengan sesuatu yang ada di kepalanya, ibu PNS di sebelahku sibuk dengan rasa kesalnya setelah kecewa karna kereta datang telat, dan anak-anak sekolahan yang sibuk bermain HP meskipun sedang bersama teman-temannya sendiri." Aku tidak bisa membayangkan kalau semua mobil dan angkutan umum di jakarta tidak ada, bakal sesepi apa kota metropolitan ini jadinya. Saat orang-orang yang ada di kota besar ini sudah merasa sibuk dengan dirinya sendiri, I feel like there is something has gone. That thing is 'love'.
05.00 WIB - Perjalanan menuju puncak Pangrango
Rasa dinginnya malam yang menusuk tulang sudah mulai lenyap setelah aku dan tiga teman pendaki berjalan kurang lebih satu jam. Suara adzan subuh sayup-sayup terdengar di kejauhan beberapa menit yang lalu. Kamipun tiba di pos pertama di perjalan kami menuju puncak pangrango, pos telaga biru. Di pos ini ada beberapa tenda yang sudah berdiri. Nampaknya semalam mereka menginap di sini. Beberapa ada yang sudah bangun dan menyapa kami dengan hangat meskipun kita tidak saling kenal, "Istirahat dulu kang...". Dengan senyum kami membalas sapaan mereka dan memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu serta sholat shubuh di pos ini.
Selesai sholat, kamipun melanjutkan perjalan kami menuju ke atas. Rupanya perjalanan semakin berat, karena jalannya terus menanjak dengan hanya sesekali mendapat "bonus" turunan. Karena hari pendakian kami lakukan di akhir pekan, jalur pendakian cukup padat dengan pendaki dari berbagai daerah. Ada serombongan anak sekolah dari Bekasi, ada mahasiswa/i dari Jakarta, dan dari background pekerjaan lain. Semuanya hanya memiliki satu tujuan, yaitu puncak. Sekali lagi, jalur pendakian ini cukup berat buatku. Sehingga beberapa kali kami harus mengambil waktu untuk istirahat.
"Ayo bang... semangat bang... kita duluan ya..." Ada suara dari sekelompok pendaki menyemangati kami yang sedang istirahat.
"Sip... sip... mangga... hati-hati bang!" Jawab kami dengan semangat.
Tenaga kami seperti terisi kembali melihat teman-teman pendaki lain yang terus menuju ke atas. Kejadian seperti ini tidak terjadi sekali dua kali saja. Hampir sepanjang perjalanan, semua pendaki saling menyemangati. Setiap kali berpapasan pendaki lain, hampir tidak ada dari mereka yang diam cuek. Seperti ada sebuah peraturan tidak tertulis; kita mempunyai tujuan yang sama, kita menanggung nasib yang sama, let's respect dan sama-sama support untuk bisa sampai di puncak. Buatku, hal ini sangat luar biasa.
Perjalanan masih belum selesai. Perjalanan selanjutnya malah semakin lebih berat. Setelah setengah hari tadi kami mendaki tangga batu susun yang menanjak, jalan menuju puncak harus membelah hutan. Benar-benar hutan. Jalur pendakiannya masih benar-benar alami dengan batang-batang pohon yang malang melintang, akar-akar pohon yang menjulur ke bawah. Perjalan ini terasa lebih berat karena kami menggendong tas carier yang cukup berat. Terkadang, aku sendiri harus merangkak sambil berpegangan akar pohon agar bisa naik lebih tinggi. Wow sekali rasa perjalanan ini.
Beberapa saat sebelum puncak, kami bertemu kembali dengan sekelompok pendaki. Sambil melepas lelah, kami berbincang-bincang banyak hal. Mereka juga tidak sungkan-sungkan menawari makanan ringan sehingga kami bisa lebih akrab dengan mereka. Di depan sana pemandangan menakjubkan dari kawah Gunung Gede tersaji indah. Asapnya terlihat mengepul ke atas dan membumbung tinggi mengangkasa. Sementara itu, waktu semakin beranjak sore dan kabut mulai turun membuat suana semakin terasa dingin. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke atas. Tidak lama setelahnya, akhirnya sampai juga di Puncak Pangrango tepat beberapa saat sebelum langit gelap sempurna.
Awalnya aku sendiri tidak percaya apakah bisa sampai puncak. Jalur pendakian yang sangat berat sempat membuat nyali ciut. Akan tetapi, dukungan dari teman-teman mengalahkan rasa pesimis itu. Di tambah lagi teman-teman pendaki lain yang ditemui sepanjang perjalanan yang secara tidak langsung memberikan aura positif agar terus melanjutkan perjalanan. Jujur, this is the best journey ever for me! Bahkan, aku bilang kepada teman pendakiku saat turun, "You know what guys? orang-orang terbaik adalah para pendaki gunung. Mereka tidak hanya mencintai alam kita yang indah ini. Mereka juga benar-benar menyadari bagaimana seharusnya memanusiakan manusia lainnya. Kita semua butuh cinta, kan? I got it here. Di Jakarta, di dalam angkutan umumnya, di keretanya, di dalam busway-nya, semua orang sibuk dengan gadget. Satu banding sekian ribu orang yang sekedar menyapa, mencoba memulai percakapan di tengah-tengah penatnya pekerjaan. Kalaupun kita memulai, tidak jarang kita malah dikira mempunyai niat jahat. Aku menemukan cinta di sini, guys!"
Thank you Pangrango. Perjalanan ini takkan mungkin dapat dilupakan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Achievement unlocked! at Lembah Mandalawangi |
Dasrizal, Umam, Penulis, dan Majid (Kiri ke Kanan) |
I was flying at Lembah Mandalawangi. Yeah... I made it! |
Thanks, guys. We're awesome. |
mmm. mr, pasti itu pengalaman yang bakal tidak terlupakan dalam hidup. the best for you !!!
BalasHapus