Bismillahirrahmanirrahim,
Wali Songo atau Wali Sembilan adalah
tokoh-tokoh yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Kesemuanya tersebar di
Jawa Tengah, Barat, dan Timur. Saya mengenal para wali ini sewaktu saya belajar
di sekolah madrasah dulu, di mata pelajaran Ke-NU-an. Namun, entah mengapa,
kemarin saya teringat lagi tentang cerita para penyebar Islam ini. Ada semacam
perasaan ingin belajar dari teladan mereka. Akhirnya, saya memutuskan untuk
mencari film cerita wali ini di Youtube. Setelah beberapa lama mencari,
akhirnya saya pilih dan download cerita yang berjudul ‘Sunan Kalijaga dan Syeh
Siti Jenar’.
Di dalam film yang berdurasi kurang
lebih satu setengah jam ini, banyak sekali penggalan cerita yang diangkat.
Seperti kekejaman para penguasa, krisis pemerintahan, dan kerusakan moral
rakyat pada waktu itu. Namun begitu, ada sebuah penggalan cerita yang begitu
menginspirasi saya yaitu ketika para wali mengadakan pertemuan memperingati 100
hari wafatnya Sunan Ampel. Berikut ini adalah script dari percakapan di dalam pertemuan wali itu.
Sunan Giri : Saya tidak mengerti mengapa Dimas
Sunan Kalijogo menggunakan ini (bunga-bungaan dan kemenyan)? Apa ini ajaran
Islam?
Sunan Kalijogo : Saya pun tidak mengerti, mengapa Kanjeng Sunan Giri baru
mempersoalkannya sekarang? Justru sewaktu memperingati 100 hari wafatnya
Kanjeng Sunan Ampel. Kenapa tidak dulu-dulu?
Sunan Giri :
Ya… Karena baru sekarang ini ada kesempatan untuk kita berkumpul, tanpa ada
orang lain diantara kita (para wali). Kenapa Dimas menggunakan kemenyan,
bunga-bungaan, dan lain-lain ini?
Sunan Kalijogo : Bukankah Rosul menganjurkan kita agar selalu
rapi, bersih, dan menggunakan wangi-wangian?
Sunan Muria : Setiap jum’at pun kita dianjurkan untuk
menggunakan wangi-wangian. Apakah sholat jum’at itu bukan ibadah?
Sunan Kudus : Tapi, Sunan Kali membakarnya saat peringatan
akan dimulai. Saat…. membaca do’a.
Sunan Muria : Sholat Jum’at itu bukan hanya berdo’a,
tapi juga menghadap Allah!
Sunan Giri : Dulu, kemenyan itu digunakan untuk
menyampaikan do’a untuk nenek moyang lewat asapnya.
Sunan Kalijogo : Itu dulu! Tapi sekarang cukup dengan ini.
Sunan Giri : Yang pasti, kemenyan itu tidak
boleh!
Sunan Kalijogo : Adakah tertulis jelas nama kemenyan itu? Adakah penjelasan atau
kejelasan mengenai jenis, bentuk atau nama dari wangi-wangian itu? Kalau orang
jawa menganggap kemenyan, setanggi, bunga-bungaan itu wangi, apa salahnya kalau
mereka menggunakan?
Sunan Kudus : Tapi, Sunan Kali kan bisa melarangnya?
Sunan Kalijogo : Untuk apa melarangnya? Untuk apa kalau cuma
membuat mereka tersinggung dan membuat kita tidak berhasil mengislamkan mereka?
Sunan Giri : Memang Sunan Kali lah yang selalu
lain cara pendekatannya kepada rakyat.
Sunan Kalijogo : Tidak ada cara lain Kanjeng Sunan Giri, selain mendekatkan
hatinya, sentuh perasaanya. Sesuaikan dengan kebiasaannya, yang kemudian
setelah mereka cocok, sesuai, lalu kita rubah sedikit demi sedikit. Bukankah
kesemuannya telah kita musyawarahkan terlebih dulu?
Sunan Kudus : Tapi ingat, janganlah merendahkan
martabat sunan, wali, dengan memakai pakaian mulung (pemulung) seperti itu terus
menerus!
Sunan Kalijogo : Kanjeng Sunan Kudus, kita punya budaya sendiri. Gunakanlah itu!
Dengan begini, saya bisa mendekatkan diri, bergaul dengan mereka, tidak ada
jarak diantara kita dan mereka. Ada sampurasa. Lagipula letak Islam seseorang
bukan terletak di pakaian. Tapi, disini (dalam dada)! Yang penting bersih,
aurat tertutup.
Sunan Bonang : Hari ini, setan-setan sedang bertengger di hati sedulur-sedulur.
Lupakah firman Allah? kalau ada perselisihan di antara kita umat muslim,
kembalilah kepada Al-Qur’an. Kenapa sedulur-sedulur lupa? Kenapa? Maaf, Kanjeng
Sunan Giri, semestinya hal semacam ini tidak boleh terjadi. Apalagi, Kanjeng
Sunan sebagai pemimpin kami di sini. Kita harus selalu ingat akan bahaya Islam
yang sekarang ini berpusat di Pengging. Yang perkembangannya begitu cepat,
penyebaran dan pengajarannya yang begitu berbeda dengan kita. Apakah kita tidak
curiga sama sekali dengan Syeh Siti Jenar alia Syeh Lemah Abang itu?
Sunan kalijogo : Maaf Kanjeng Sunan Bonang, tidaklah baik
berprasangka buruk kepada orang. Itupun termasuk dihinggapi syaithon.
Sunan Bonang : Astagfirullahaladzim…
Sunan Giri : Soal Syeh Siti Jenar, saya sudah
mendengar anak buahnya berceramah.
Sunan Kalijogo : Anak Buahnya bukan berarti Syeh Siti Jenar.
Sunan Kudus : Apakah Sunan Kali membenarkan cara Syeh
Siti Jenar itu? Bid’ah, murtad?
Sunan Kalijogo : Waallahu a’lam… saya belum pernah menyaksikan dengan mata kepala
saya sendiri. Menurut Imam Ghozali, melihat lebih baik daripada mendengar.
Sunan Giri : Saya rasa benar Kanjeng Sunan
Bonang. Hari ini, syetan-syetan sedang bertengger di dada kita. Maafkan saya
Kanjeng…
Semua wali yang hadir di musyawarah itu saling menghampiri
dan meminta maaf satu sama lain.
Ada beberapa pelajaran yang bisa saya
ambil dari percakapan para wali di atas. Pertama, pertemuan antar anggota
kelompok itu perlu untuk tetap menjaga hubungan, kedekatan, diantara anggota
kelompok tersebut. Contohnya, para wali Allah ini mengadakan pertemuan dalam
rangka memperingati 100 hari meniggalnya Sunan Ampel. Kedua, musyawarah harus
dilakukan dengan cara yang santun, lemah lembut, saling menghargai. Di dalam
cerita, para wali sedang mempunyai masalah yang pelik yaitu tentang pemakaian
kemenyan dan bunga-bungaan. Sunan Kalijogo berbeda pendapat dengan wali yang
lain. Meskipun seperti itu, masing-masing dari beliau, walaupun mempunyai
pendapat yang berbeda, tetap saling menghargai rekannya. Selanjutnya, dakwah/
menyebarkan agama islam itu bisa dilakukan dengan berbagai cara salah satu
caranya dengan memanfaatkan kebudayaan lokal. Sunan Kalijogo berpenampilan
seperti pemulung setiap harinya untuk mendekatkan diri pada rakyat adalah
aplikasi nyatanya. Yang terakhir, saya diingatkan bahwa saya hanyalah manusia
biasa. Wali saja bisa dihinggapi syetan hatinya, apalagi saya?
Semoga dengan catatan yang sederhana
ini, kalian yang membaca bisa mengambil pelajarannya. Semoga bermanfaat.
Waallahu a’lam.
0 comments:
Posting Komentar