Malam itu hujan mengguyur kota Jakarta yang sedang
sibuk karena aktifitas penduduknya kembali ke rumah setalah seharian penuh
bekerja. Seperti biasa, kalau hujan turun, kemacetan kota ini semakin menjadi.
Antrian mobil angkutan umum, mobil pribadi, dan motor berebut untuk jalan
duluan tersaji di bawah rintik hujan. Sebuah pemandangan kemacetan yang hampir
setiap hari ku amati dari balik kaca Kopaja 640 jurusan Pasar Minggu – Tanah
Abang ini.
Mesin Kopaja membising disertai klakson yang terus
meraung menunjukkan betapa si supir mulai stres mobilnya tidak bisa jalan
dengan leluasa. Tak mau terpengaruh dengan suasana yang membosankan itu, ku
layangkan pandanganku keluar kaca yang basah karena hujan. Lampu-lampu mobil
berjejer nampak indah, apalagi saat memantul di aspal yang basah. Namun, ada
satu hal lagi yang membuatku tak terpengaruh dengan suasana yang membosankan
yaitu kehadirannya.
Dia adalah seorang perempuan yang ku kenal dengan
baik, setidaknya sebelum aku mengungkapkan perasaanku kepadanya. Banyak cerita
pernah saling kami bagi, sehingga membuat kami semakin dekat. Singkat cerita, sayang,
saat aku menunjukkan perasaanku, dia menolakku. Meskipun sekarang semuanya
berbeda, aku tetap bersyukur masih bisa melihat senyumnya. Duhai wanita baik, kenapa
tak pernah memberi tauku kenapa tidak bisa menerimaku? Ah… Kopaja 640 sedari
tadi masih belum beranjak dari Gatot Subroto. Hujan masih saja mengguyur kota
ini. Dan aku masih dalam lamunanku.
Beberapa saat setelah itu, tanpa ku sadari dia
menoleh kepada ku yang duduk berjarak dua bangku di belakangnya. Mata kami
bertemu. Saat dia tersenyum, aku malah salah tingkah karna ketauan sedari tadi
memandanginya. Perlahan ku kontrol diriku agar kelihatan biasa saja di
hadapannya. Ku balas senyumnya dan diapun berbalik menghadap ke depan lagi.
***
Dia adalah seorang laki-laki yang ku kenal dengan
baik, setidaknya sebelum dia mengungkapkan perasaannya kepadaku. Banyak cerita
pernah saling kami bagi, sehingga membuat kami semakin dekat. Singkat cerita,
saat dia menunjukkan perasaannya, aku menolaknya. Meskipun sekarang semuanya
berbeda, aku tetap bersyukur masih bisa melihat kehadirannya yang selalu
membuatku merasa aman. Duhai laki-laki baik, maafkan aku yang tak pernah
memberi taumu kenapa tidak menerimamu. Ah… Kopaja 640 sedari tadi masih belum
beranjak dari Gatot Subroto. Hujan masih saja mengguyur kota ini. Dan aku masih
memikirkanmu.
Beberapa saat setelah itu, aku menoleh kepadamu yang
duduk berjarak dua bangku di belakangku. Mata kami bertemu. Saat aku tersenyum,
dia malah salah tingkah karna ketauan sedari tadi memperhatikanku. Kulihat dia
coba mengontrol dirinya agar kelihatan biasa saja dihadapanku. Dia balas
senyumku dan akupun berbalik menghadap ke depan lagi.
Mesin Kopaja membising disertai klakson yang terus
meraung menunjukkan betapa si supir mulai stres mobilnya tidak bisa jalan
dengan leluasa. Tak mau terpengaruh dengan suasana yang membosankan itu, ku
layangkan pandanganku keluar kaca yang basah karena hujan. Lampu-lampu gedung
yang tinggi menjulang nampak indah, apalagi saat memantul di aspal yang basah.
Namun, ada satu hal lagi yang membuatku tak terpengaruh dengan suasana yang
membosankan yaitu kehadirannya. Kehadiran seorang laki-laki yang selalu
membuatku aman.
0 comments:
Posting Komentar