Nawung: Wanita Jawa yang Bercita-cita Mulia

Akhirnya selesai juga saya membaca novel yang berjudul 'Nawung: Putri Malu dari Jawa' karya Galuh Larasati. Novel ini sebenarnya sudah saya beli dua bulan yang lalu, tapi karena membacanya tidak rutin setiap hari alhasil baru selesai semalam. Secara keseluruhan novel ini bagus dan memberikan banyak pelajaran tentang cinta, cita-cita, dan kehidupan. Suana Jawa juga begitu kental terasa di novel ini. Sebagai orang jawa saya merasa bersyukur karena telah diingatkan tentang filosofi hidup orang jawa. Berikut adalah sedikit cerita tentang novel 'Nawung: Putri Malu dari Jawa'.


Awal Cerita

Adalah Nawung Sekar yang diangkat sebagai tokoh utama di novel ini. Nawung kecil lahir di sebuah keluarga sederhana di sebuah desa dekat tempat Dinasti Syailendra memuja Budha. Ya, dekat Candi Borobudur berdiri. Nawung kecil adalah anak yang aktif dan cenderung ingin tahu apa saja. Kemauan belajarnya yang tinggi membuat dia pintar di bidang akademik maupun seni. Nawung mampu menguasai Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang di samping bahasa kesehariannya. Di bidang seni juga ia mampu menari tarian tradisional dan bermain gitar dengan baik sekali. Hebatnya, beberapa keahlian itu dia pelajari secara otodidak, bukan dari lembaga pendidikan formal.

Seiring beranjaknya waktu, Nawung tumbuh menjadi gadis yang baik. Di bawah didikan keluarga, terutama sang ayah, Nawung kecil beranjak menjadi anak yang tangguh tapi tetap santun. Keinginan belajarnya pun semakin lama semakin tinggi. Namun, karena biaya yang ia punya tidak banyak, akhirnya impiannya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi harus pupus. Ia pun memilih merantau ke Jakarta untuk bekerja. Bagi dia, belajar bisa dilakukan dimanapun. Tidak mampu melanjutkan ke jenjang kuliah, dia bisa belajar dari proses bekerja yang dia jalani. Dengan kata lain, dia belajar dari pengalaman-pengalaman hidupnya.

Ada satu impian yang Nawung miliki yaitu, mendirikan sebuah sekolah kecil untuk anak-anak penduduk di desa tempat ia tinggal. Meskipun ia tidak berijazah perguruan tinggi, tapi kemauannya untuk membawa anak-anak menuju masa depan yang lebih cerah sangat tinggi. Sederhana, dia tidak mau lagi melihat anak-anak mengasong, memaksa-maksa turis untuk membeli makanan yang mereka jual. Nawung percaya, ada hal yang jauh lebih baik dan dapat menjamin kehidupan mereka kelak.

Hidup Berkeluarga

Sebagai manusia biasa, Nawung juga merasakan hal yang disebut dengan cinta. Ia menjatuhkan pilihan cinta pertamanya pada seorang bule bernama Jonathan. Hubungan mereka semakin hari semakin dekat karena Jonathan sering datang ke rumah Nawung. Sesekali mereka pergi berdua untuk sekedar menikmati waktu senja bersama. Namun sayang, saat seharusnya momen waktu itu menjadi puncak kebahagiaan, Ibu Nawung malah tidak merestui hubungan mereka. Berat sekali bagi Nawung dan Jonathan untuk merelakan hubungan mereka berakhir. Tapi mereka tetap percaya bahwa cinta mereka akan tetap ada, meskipun itu di lubuk hati yang paling dalam.

Selain itu, diam-diam Nawung juga dicintai oleh teman dekatnya sejak kecil. Angkasa nama temannya itu. Angkasa baru menyadari kalau dia jatuh cinta kepada Nawung ketika ia pergi merantau ke Jakarta. Angkasa baru berani mengatakan kalau dia cinta Nawung saat Jonathan sudah pergi. Angkasa berlaku seperti itu karena mereka bertiga adalah teman dekat. Akan tetapi, Nawung yang saat itu masih memendam rasa untuk Jonathan menolak Angkasa secara halus. Nawung lebih memilih untuk menyediri dengan cara pindah ke Jogjakarta.

Di Jogja, Nawung mulai merintis karir di sebuah hotel. Di sinilah Nawung mendapatkan kesuksesan dalam berkarir. Semua itu ia dapatkan dari hasil kerja kerasnya sendiri. Ia memberikan lebih dari sekedar tanggung jawabnya sendiri. Semisal, meskipun sudah berkedudukan tinggi ia masih membantu mengurus tamu yang hadir di hotel tersebut. Semakin lama, Nawung pun mendapati dirinya semakin sukses di tempat ini.

Seakan tidak ada suatu hal yang sempurna di dunia ini, kehidupan percintaannya tidak secemerlang karirnya. Pada suatu ketika Nawung memutuskan untuk menikah dengan seorang pria yang ia kenal di Jogja. Dengan pria ini ia dikarunia dua orang anak. Tapi karena ketidaksiapan mereka dalam hal mental, pernikahan mereka tidak bertahan lama. Nawung mempunyai kelebihan di finansial, tapi keluarganya meminta waktu dan curahan perhatian yang lebih. Pergolakan batin terjadi dalam diri Nawung antara memilih keluarga atau pekerjaan. Setelah menimbang baik buruk yang akan mereka hadapi, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan jabatan penting yang ada di genggamannya waktu itu. Meskipun seperti itu, suaminya tetap belum bisa menerimanya dan akhirnya dia diceraikan.

Terwujudnya Cita dan Cinta

Di saat terpuruk inilah Nawung mencoba untuk mengingat-ingat apa sebenarnya tujuan hidupnya. Selama ini dia sudah disibukkan dengan materi dan masalah-masalah yang dia hadapi. Dia lebih sering memikirkan keburukan orang lain ketimbang memikirkan hal-hal baik untuk dirinya sendiri. Dia merefleksikan semua perjalanan hidupnya. Akhirnya dia lebih suka menenangkan diri dengan cara nge-ning-ke (mengheningkan) sukma.

Nawung menemukan titik balik kehidupannya di saat-saat terburuknya; tidak lagi bekerja dan bergaji, bercerai dengan suami, dan tak bisa menemui anak-anaknya. Ia kembali ingat dengan janji-janji nya dulu untuk mendirikan sebuah sekolah untuk anak-anak sekitar Candi Borobudur. Dimulai dari yang sederhana, 'Sekolah Anak Bangsa' ia dirikan. Di sini anak-anak belajar untuk mengembangkan kemampuan kognitif dan juga sikapnya. Nawung tidak mau anak didiknya hanya tumbuh cerdas tapi amoral. Ia ciptakan metode belajar sendiri dengan cara menyeimbangkan antara teori dan praktek di lapangan. Dan pada akhirnya, anak-anak yang dididiknya mampu menjadi orang yang sukses. Bahkan, beberapa dari mereka sudah bekerja di luar negeri berbekal ilmu yang Nawung bagi di sekolah sederhananya.

Di penghujung cerita diceritakan bahwa Angkasa, teman dekat yang pernah mencintai Nawung, meninggal dunia. Nawung mengetahui kabar tersebut dari anak Angkasa yang waktu itu sudah mulai beranjak dewasa. Nawung pun melayat ke makam Angkasa pada keesokan harinya. Ia datang sendirian untuk sekedar mendoakan dan meminta maaf karena pernah menolak cinta Angkasa yang begitu tulus. Ia pun teringat dengan sosok Jonathan seseorang yang pernah mengisi hatinya. Ia teringat persahabatan mereka, kisah cinta di antara mereka.

Pada saat itu, tiba-tiba Nawung merasa seperti ada yang sedang mendekat kepadanya. Dadanya mulai merasa bergetar karena gugup. Entah kenapa ia merasa mengenal orang yang semakin lama semakin dekat. Wajahnya sudah tidak seperti dulu karena termakan usia, tapi sepertinya ia masih ingat sekali. Dia adalah Jonathan yang ingin berziarah ke makam Angkasa juga. Ternyata kabar meninggalkan sahabat mereka itu sudah sampai di Jonathan. Nawung tidak mampu lagi menahan tangisnya.

Begitulah sekelumit cerita Nawung Sekar dari novel 'Nawung: Putri Malu dari Jawa'. Semoga ada pelajaran yang bisa diambil dari cerita singkat ini. Kalau mau tahu cerita lengkapnya, silakan beli dan baca novelnya. This novel is worth to be read guys. 

SHARE ON:

Hello guys, I'm Tien Tran, a freelance web designer and Wordpress nerd. Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque laudantium, totam rem aperiam, eaque ipsa quae.

1 comments:

  1. Mas Muhammad,

    Salam kenal..Saya Galuh Larasati, penulis noveel Nawung, putri malu dari Jawa.

    Terima kasih atas resensi yang indah tentang buku saya. Saya senang sekali membacanya.

    Terima kasih banyak ya. Ini alamat email saya : larasati0202@gmail.com

    Salam kenal,
    Galuh Larasati

    BalasHapus